Mohon tunggu...
Tia Enjelina
Tia Enjelina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (20107030043)

Communication kid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dilema Lulus SMA, Ikuti Kata Hati atau Ikuti Kata Orangtua?

21 Juni 2021   15:37 Diperbarui: 21 Juni 2021   15:53 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi/Sumber: kopmafeuii.com

"Aku kan anak tengah, udah terbiasa harus nurut sama orang tua sampai nggak punya ambisi lagi, nggak punya passion, nurut aja wes dari dulu juga nggak punya suara." Di tengah hiruk pikuk Penerimaan Mahasiswa Baru seperti di SBMPTN, Ujian Mandiri, seleksi kedinasan dan lain-lain, itu yang teman saya ucapkan beberapa hari yang lalu setelah mendapati dirinya lulus seleksi UMPTKIN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) prodi Pendidikan Agama di salah satu Universitas islam di Semarang, setelah tahun lalu memutuskan untuk gapyear. Katanya, masuk prodi Pendidikan Agama adalah saran dari ayahnya agar nanti mudah mencari pekerjaan setelah lulus. Meskipun dia mengaku suka mata pelajaran matematika dan ingin masuk prodi Teknik, ia memilih mengikuti saran orang tuanya untuk ikut seleksi sekolah kedinasan dan menggunakan prodi Pendidikan Agama tesebut sebagai alternatif apabila gagal lagi di seleksi kedinasan seperti tahun lalu. Dengan alasan yang sama, tak lain mengikuti kata orang tua agar mudah mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah.

Hal yang sama dialami pula oleh teman dekat saya yang kini berhasil mengejar keinginannya untuk menjadi mahasiswa Ilmu Hukum, setelah berbagai drama dengan orangtuanya yang bersikukuh ingin anaknya memilih program studi PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) karena orangtuanya merasa guru adalah profesi yang selalu dibutuhkan sampai kapanpun sehingga lagi-lagi tidak akan kesulitan mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Masalah seperti ini sangat sering terjadi hanya karena prinsip "cari aman" yang tak bisa terselesaikan hanya dengan belajar giat. Sudah dilanda overthinking karena sulitnya masuk PTN, melihat teman-teman lain yang sudah kuliah duluan, alih-alih mendapat dukungan penuh, malah masih harus berusaha keras meyakinkan orangtua soal "kalau nanti lulus mau jadi apa?"

"belajarlah yang giat dan raihlah angka yang baik, dan kamu akan mendapat pekerjaan yang berupah tinggi dengan tunjangan dan keuntungan yang besar" satu kutipan dari buku Rich Dad Poor Dad karya Robert T Kiyosaki yang rasanya 'relate' dengan apa yang anak seumuran kami alami di saat-saat semacam itu. Nasihat itu lagi. Apakah nasihat ini menyiapkan kita untuk dunia yang riil? Jika masih saja hal semacam ini ditanamkan pada anak, tak heran jika ada penelitian ICCNN (Indonesia Career Center Network) yang menunjukkan 87% mahasiswa Indonesia mengaku jurusan yang diambil tidak sesuai minatnya.

Tak lain dengan yang saya alami. "Kuliah ilmu komunikasi? Mau jadi apa nanti? Buat apa belajar komunikasi? Kan kita setiap hari juga udah ngomong? Mbok mendingan kuliah kesehatan aja" Celetukan-celetukan seperti itu sudah membuat kenyang telinga saya baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga besar. Maklum, orang-orang di tempat saya tinggal, biasanya memilih kuliah untuk mengambil jurusan keperawatan, kebidanan, dan pendidikan yang jelas menimbulkan suatu pikiran orang-orang bahwa lulus kuliah keperawatan akan bekerja sebagai perawat, lulus kuliah kebidanan akan bekerja sebagai bidan, lulus kuliah pendidikan akan bekerja sebagai guru. Dan karena hal itulah ketika saya masih duduk di bangku kelas 12 SMA yang pasti sedang mengalami masa-masa kebingungan menentukan prodi yang akan diambil di universitas nantinya, saya pun mendapat nasihat yang serupa dari ibu saya untuk mengambil prodi kedokteran atau keperawatan dengan alasan pekerjaan yang digeluti setelah lulus kuliah nanti sudah pasti "jelas dan terjamin". Tak hanya dari ibu saya, saran untuk memilih prodi kesehatan juga banyak saya dapatkan dari satudara dan kerabat yang lain dengan alasan "jelas dan terjamin" itu lagi. Entah apa indikator jelas dan terjamin yang dimaksud, saat itu yang saya tangkap saat mendengar nasihat itu hanyalah "bagaimana cara mencari aman". Berbeda dengan ayah saya yang membebaskan saya untuk memilih prodi apapun dengan syarat saya harus sungguh-sungguh dan tidak cuma ikut-ikutan, dan mengatakan pintar saja tidak cukup untuk mencari pekerjaan setelah saya lulus. Itulah yang membuat saya akhirnya berpikir mungkin akan lebih baik jika saya mengikuti keinginan saya mendaftar prodi ilmu komunikasi.

Sama halnya ketika saya masih kelas 9 SMP yang bingung memilih SMK atau SMA, SMA jurusan IPA, IPS, atau bahasa. Tak hanya saya sendiri kala itu banyak teman-teman saya yang mengaku juga termakan omongan orang-orang sekitar soal stereotip kalau siswa ipa adalah dewanya siswa. Katanya, siswa IPA akan bebas memilih prodi apapun saat mendaftar ke universitas. Dan hanya dengan alasan itulah akhirnya kami memilih jurusan IPA saat SMA.  Meskipun memang benar, hingga sekarang prodi yang bisa dipilih siswa IPA lebih bervariasi daripada siswa IPS. Namun tidak semudah yang dikatakan, dalam tes-tes tertentu kenyataanya siswa IPA harus mempelajari mata pelajaran IPS dan melakukan ujian mapel IPS seperti Ekonomi, Geografi, Sosiologi, dan Sejarah yang tidak mereka dapatkan selama 3 tahun di SMA.

Apa yang diibaratkan Robert T Kiyosaki sebagai "perlombaan tikus" dalam bukunya Rich Dad Poor Dad tampak seperti dimulai dari sini. Memang, orangtua pasti selalu mengharapkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun tanpa sadar, nasihat-nasihat seperti "pergilah ke sekolah, belajarlah rajin-rajin, raihlah ranking yang tinggi, dan carilah pekerjaan yang aman dan terjamin" adalah nasihat yang kedaluarsa atau dengan kata lain akhirnya hanya membuat kita mempersiapkan diri untuk dunia yang tak lagi ada.

Sementara jurusan kuliah yang pasti-pasti aja itu tidak pernah ada. Pekerjaan yang aman, jelas, dan terjamin itu tidak pernah ada. Semuanya tergantung pada usaha masing-masing individu. Tidak ada satu pun universitas yang menjamin 100% masa depan seseorang begitu saja setelah mereka lulus. Menasihati anak agar rajin belajar dan mendapat nilai yang tinggi untuk mendapat pekerjaan yang terjamin memanglah hal yang sangat baik, namun tolonglah ayah dan bunda, alangkah baiknya membicarakan hal ini dengan putra-putri anda tanpa paksaan sedikitpun.  Bagaimana seseorang belajar, bagaimana seseorang mengembangkan diri, semuanya dipengaruhi karena keinginan dan harapan. Atau yang disebut dengan passion, bahwa setiap orang memiliki antusiasme yang kuat terhadap sesuatu. Manusia hidup karena harapan. Meskipun terkadang harapan-harapan kami anak-anak muda ini tidak realistis dan terlalu tinggi, tapi harapan itulah yang mengisi pikiran kami. Harapan-harapan itulah yang membuat kami mempunyai alasan untuk sekedar bangun pagi dan melakukan sesuatu. Sebaliknya, apa yang terjadi jika harapan-harapan itu dipatahkan? Life is too short to do the things we don't love doing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun