Mohon tunggu...
Thonthowi Dj
Thonthowi Dj Mohon Tunggu... Wiraswasta - Networker

Pengelana dunia maya. Pekerja kreatif. networker. communications specialist.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kerja...Kerja...Kerja

2 Mei 2015   15:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika ditanya para wartawan tentang sumber pendaanan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera, Presiden  Joko Widodo sempat  memanfaatkan untuk menjawab.  "Kita ini ya, maunya kerja cepat, kerjanya cepat. Kalau kerja lambat, nanti begini (sambil tangannya memeragakan gerakan simbol orang bicara). Eh, sudah kerja cepat, masih begini juga (melakukan gerakan yang sama)," kata Jokowi, sapaan akrab Presiden Joko Widodo.

Sejak  melantik kabinetnya,  Jokowi  memang sering menyebut kata kerja.  Bahkan, ketika memperkenalkan para menterinya, dia sempatnya menyatakan,”Kerja...kerja..kerja.” Nama kabinetnya pun disebut Kabinet Kerja.

Kerja cepat akhirnya coba ditunjukkan para menteri. Salah satunya terlihat dari gaya Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri ketika blusukan. Dia sampai melompati pagar sebuah rumah yang diduga jadi tempat penampungan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti pun tak mau kalah. Dia justru lebih garang dengan mengajukan kebijakannya untuk melakukan moratorium, atau penghentian sementara izin operasi kapal ikan yang memiliki berat di atas 30gross tonnage(GT).

Alasanya  untuk mengendalikan praktek kapal ikan asing yang mengeruk ikan di perairan dalam Indonesia. Kerugian Indonesia disebutnya mencapai ribuan triliun lantaran aksi ilegal ini. Apalagi Indonesia negara yang satu-satunya yang masih membolehkan kapal ikan asing.

Pemerintahan Jokowi juga membuat gebrakan dengan membatalkan pembangunan Jembatan Selat Sunda. Pembatalan dilakukan lantaran megaproyek yang diperkirakan menelan biaya Rp100 triliun ini tak sesuai dengan visi kemaritiman Presiden Jokowidodo.

Para menteri dan pejabat di bidang pertahanan dan keamaan pun unjuk kerja. Setidaknya sudah tiga pesawat asing yang dipaksa mendarat, selama pemerintahan Jokowi, lantaran melanggar batas wilayah Indonesia.

Contoh-contoh gebrakan tersebut tentu saja menunjukkan para pembantunya ingin melaksanakan kerja...kerja dan kerja. Dan, rupanya negara lain sangat memperhatikan. Hal ini antara lain terlihat dari diperhitungkannya Jokowi selama pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Beijing November ini. Dalam sehari misalnya, Jokowi sempat mengadakan pembicaraan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.

Hanya saja, gebrakan tersebut harus memperhatikan pijakan aturan, agar tidak menimbulkan polemik yang tidak perlu. Peluncuran tiga kartu yang tergolong cepat misalnya, sempat menuai kontroversi lantaran ketidakompakan pejabat dalam menerangkan sumber dananya.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno sempat menyebut pendanaan tiga kartu tersebut dari dana CSR perusahaan negara. Adapun Jokowi dan menteri terkait lainnya menyebut dana dari APBN. Dasar hukum penyebaran tiga kartu melain Kepres dan Inpres, seperti disebut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebdayaan Puan Maharani, dikritik pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Pasalnya, inpres dan keppres bukanlah instrumen hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI.

Gebrakan-gebrakan tersebut, juga sebaiknya mengacu program jangka panjang, bukan jangka pendek, yang mungkin langsung terlihat hasilnya. Dalam politik memang jargon dan simbol memang penting. Namun, alangkah baiknya jika jargon dan simbol yang membungkus program kerja pemerintahan tetap menjaga kesinambungan dengan pemerintahan sebelumnya. Sehingga, masyarakat tak  menjadi korban.

Salah satu simbol kesinambungan tersebut terletak pada Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005–2025.  UU ini ditetapkan ketika PDI Perjuangan menjadi salah satu fraksi terbesar di DPR selain Golkar. Sehingga, tak ada alasan sebenarnya bagi Pemerintah Presiden Jokowi untuk tak memperhatikan UU ini.

(Telah dimuat di Majalah Business Review Edisi Januari 2015)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun