Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habislah Gundik, Terbitlah Indis

23 Februari 2020   09:00 Diperbarui: 23 Februari 2020   09:02 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang perempuan Jawa yang menjadi Gundik | malangtimes.com

Seperti halnya orang Pribumi yang mulai mengubah cara berpakaiannya, cara mereka menyantap makanan, cara berbicaranya bahkan sampai bagaimana cara mereka menghargai waktu (Rahman, 2016: 19). 

Adapun menurut Sastrowardoyo dalam Fadly Rahman (2016: 20), dikisahkan bahwa orang-orang Belanda merasa tidak malu untuk mengikuti adat dan kebiasaan Pribumi, seperti kaum pria yang mengenakan celana panjang bermotif batik dan gaya baju yang berpotongan Tionghoa (baju takwa). Mereka pun juga suka untuk mendengarkan alunan gamelan, percaya kepada dukun bahkan di pijat saat lelah (Rahman, 2016: 20).

Cikal bakal lahirnya kebudayaan ini seperti yang dijelaskan diatas, secara alamiah bersumber dari pernikahan antara dua bangsa. Menurut Fadly Rahman (2016: 20), peristiwa pergundikan adalah kunci perkembangan awal dari kebudayaan Indis. Pergundikan sendiri muncul setelah di bukanya banyak lahan perkebunan di Hindia Belanda. 

Pembukaan lahan tersebut praktis juga mendorong banyak orang Pribumi yang bekerja di dalamnya, seperti para perempuan Pribumi yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (indigenous house keeper) di rumah-rumah pejabat kolonial dan tentu di sekitar areal perkebunan. Dari sini lah peristiwa pergundikan ini muncul. 

Para perempuan Pribumi yang menikah dengan laki-laki Belanda ini kerap dipanggil dengan sebutan nyai. Hal ini pun kemudian juga berdampak pada berubahnya kehidupan kedua pasangan dalam konteks gaya hidup dan juga cara bagaimana mereka mendidik anak-anak hasil perkawinan mereka yang semakin mengukuhkan budaya campuran di tanah jajahan (Rahman, 2016: 21).

Kebudayaan Indis juga melahirkan sebuah kebudayaan kuliner, yakni Rijstaffel | idntimes.com
Kebudayaan Indis juga melahirkan sebuah kebudayaan kuliner, yakni Rijstaffel | idntimes.com

Anak-anak Indo dari hasil pernikahan Pribumi dan Belanda ini pun praktis membuat demografi penduduk tanah jajahan tambah menjadi heterogen. Namun, kehadiran dari anak-anak Indo ini justru melahirkan sebuah masalah baru. Menurut Fadly Rahman (2016: 22), anak-anak Indo cenderung untuk membanggakan bentuk fisik mereka seperti halnya warna kulit mereka yang putih dan juga rambut mereka yang pirang. 

Hal ini pun sekali lagi mengubah gaya hidup mereka dengan berusaha bersikap seperti ala barat Belanda, mulai dari cara makan, cara berpakaian, penggunaan bahasa dan cara mereka beretiket. Kehadiran anak-anak Indo ini pun pada akhirnya semakin menguatkan unsur-unsur subjektif layaknya solidaritas dan rasa kesatuan dalam kehidupan masyarakat. 

Unsur-unsur ini pun kemudian berkembang menjadi sebuah konsep baru untuk menciptakan pembagian kelas-kelas sosial tersendiri dalam struktur masyarakat kolonial yang meliputi kalangan Belanda, Pribumi, Indo dan lainnya (Rahman, 2016: 23).

Kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa kebudayaan Indis adalah sebuah kekayaan kultural yang memberikan kontribusi besar berupa tonggak awal peradaban kehidupan modern bagi bangsa kita. Kebudayaan Indis telah berhasil menciptakan berbagai pertukaran ide dan pranata antara bangsa Belanda maupun Pribumi di tanah jajahan yang mampu menciptakan banyak keuntungan dan akses seperti pendidikan, kuliner, politik, sosial bahkan ekonomi. 

Lahirnya Sumpah Pemuda, budaya makan Rijstaffel dan Perhimpunan Indonesia adalah contoh bisa mengingatkan kita bahwa tanpa dibukanya akses pendidikan oleh kebudayaan Indis mungkin kedua gerakan nasionalisme ini tidak akan pernah hadir untuk memperjuangkan kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun