Mohon tunggu...
Thom Aja
Thom Aja Mohon Tunggu... Praktisi

Bapak-bapak yang ingin anaknya menjadi presiden

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

UMR Rendah Yogyakarta: Antara Romantisme dan Realita

27 September 2025   18:00 Diperbarui: 21 September 2025   12:40 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta sering dipuja sebagai kota budaya, kota pelajar, sekaligus kota dengan biaya hidup murah. Narasi inilah yang sejak lama dipelihara dan dijadikan alasan untuk menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) di tingkat terendah nasional. Seolah-olah, karena biaya hidup murah, maka upah pun sah-sah saja ditekan serendah mungkin. Namun, logika ini sudah tidak lagi relevan dan justru merugikan warga lokal.

Romantisme yang Menyesatkan

Kota ini sering digambarkan sebagai tempat di mana orang bisa hidup dengan sederhana tanpa perlu penghasilan tinggi. Sayangnya, romantisme "Jogja murah" sering dipakai untuk menjustifikasi rendahnya upah buruh, pekerja kreatif, hingga tenaga pendidik. Padahal, harga tanah, sewa kos, dan kebutuhan pokok di DIY terus melonjak, sebagian bahkan menyamai kota besar lain. Akibatnya, warga luar daerah dengan penghasilan tinggi bisa hidup nyaman di Jogja, sementara warga lokal terhimpit dan terpaksa bertahan hidup dengan standar minimal.

Mengapa UMR Rendah Dipertahankan?

Dari sisi pemerintah daerah, menahan kenaikan UMR dianggap sebagai strategi menjaga stabilitas harga pasar. Logikanya, bila upah naik, biaya produksi dan harga barang juga naik. Pemda juga ingin menjaga UMKM dan pelaku pariwisata tetap mampu beroperasi tanpa terbebani gaji tinggi. Jogja pun dipromosikan sebagai daerah ramah investasi berkat upah tenaga kerja yang rendah.

Namun, pandangan ini hanya efektif dalam jangka pendek. Faktanya, harga barang di pasar lebih dipengaruhi faktor distribusi, pasokan, dan spekulasi tanah daripada sekadar kenaikan upah. Lebih jauh, daya beli yang lemah justru membuat pasar lokal stagnan. Masyarakat hanya mampu mengonsumsi kebutuhan dasar tanpa bisa mendorong roda ekonomi ke level lebih tinggi.

UMR Jadi Plafon, Bukan Lantai

Dari sisi pengusaha, sebenarnya tidak ada larangan untuk membayar pekerja di atas UMR. Sayangnya, praktik ini jarang dilakukan. Banyak perusahaan memperlakukan UMR sebagai plafon (batas atas), bukan lantai (batas bawah). Selama tidak melanggar regulasi, mereka memilih berhemat, bahkan ketika pekerja memiliki keterampilan yang layak dihargai lebih.

Faktor lain yang menguatkan pola ini adalah lemahnya serikat pekerja, minimnya kesadaran buruh terhadap nilai diri, serta kekhawatiran pengusaha akan "efek domino" jika hanya sebagian pekerja dibayar lebih tinggi. Akibatnya, budaya upah murah semakin mengakar kuat.

Mengapa UMR Lebih Tinggi Justru Lebih Baik

Menaikkan UMR di tengah biaya hidup yang relatif lebih rendah justru dapat menjadi model pembangunan yang ideal. Dengan gaji lebih layak:

  • Daya beli masyarakat meningkat, menggerakkan ekonomi lokal lebih cepat.
  • Pekerja dapat menabung, membeli rumah, dan menyekolahkan anak ke jenjang lebih tinggi.
  • Loyalitas dan produktivitas meningkat, mengurangi biaya turnover perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun