Di negeri ini, pendidikan akhlak selalu diagungkan. Ia ada dalam kurikulum, dibahas dalam seminar, dikutip dalam pidato pejabat, dan dicetak tebal dalam buku panduan. Namun seperti banyak hal lain di Indonesia, pelaksanaannya sering kali mandek di tengah jalan.
Salah satu contoh kecil namun mencolok adalah larangan membawa motor bagi pelajar yang belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Aturan ini jelas, logis, dan seharusnya tak perlu diperdebatkan: siswa SMP dan SMA yang belum cukup umur tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor demi keselamatan dan kedisiplinan.
Tapi mari kita tengok lapangan. Aturan ini hanya hidup di atas kertas dan di spanduk gerbang sekolah. Begitu keluar pagar, semua kembali seperti biasa. Di gang-gang sekitar sekolah, deretan tempat penitipan motor berdiri gagah, penuh dengan motor milik siswa yang "dilarang" membawanya. Larangan ini ibarat payung di musim kemarau---terlihat rapi, tapi sama sekali tak berfungsi.
Pihak sekolah tentu tahu. Tidak mungkin guru dan kepala sekolah tidak menyadari pemandangan ratusan motor siswa di luar pagar setiap pagi. Namun jawabannya klasik: "Kami sudah melarang, urusan di luar pagar bukan tanggung jawab kami." Secara administratif mungkin benar, tapi secara moral itu sama saja dengan menutup mata sambil berpesan, "Kalau mau melanggar, jangan di halaman saya."
Orang tua pun tak kalah andil. Banyak yang justru menjadi sponsor utama pelanggaran ini. Anak belum cukup umur, belum punya SIM, belum paham rambu lalu lintas, tapi sudah dibekali motor lengkap---bahkan sering tanpa helm. Alasannya pun klise: tidak ada waktu mengantar, jarak sekolah jauh, atau "kasihan kalau harus naik angkutan umum".
Lucunya, rasa kasihan itu tak sampai pada kemungkinan anak mereka terlibat kecelakaan. Dan ketika hal buruk benar-benar terjadi dan ini bukan kemungkinan, tapi fakta yang sudah berkali-kali terjadi. Pertanyaan klise pun muncul: siapa yang harus disalahkan?
Sekolah yang membiarkan? Orang tua yang memfasilitasi? Siswa yang belum cukup umur tapi nekat berkendara? Atau sistem pendidikan kita yang sibuk menyusun dokumen visi-misi tapi lumpuh dalam tindakan nyata?
Sayangnya, jawaban yang muncul lebih sering berupa saling lempar tanggung jawab. Semua merasa sudah berbuat yang "terbaik". Padahal yang sedang dilakukan adalah kompromi massal terhadap aturan yang seharusnya tidak bisa dinegosiasikan.
Lebih jauh, dampak dari kompromi ini bukan hanya soal keselamatan di jalan raya. Yang lebih berbahaya adalah pembentukan mentalitas. Ketika anak terbiasa melanggar aturan dan melihat bahwa lingkungan mendukungnya, mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa hukum adalah sesuatu yang fleksibel.
Hari ini mereka mengakali larangan membawa motor. Besok mereka bisa mengakali sistem di kampus. Lusa, mereka mungkin jadi birokrat yang mengakali APBD. Dan ketika itu terjadi, kita pun sibuk bertanya: "Mengapa korupsi begitu merajalela?"
Jawabannya sederhana: kita menanam bibitnya sejak dini, menyiramnya setiap hari, dan memetik hasilnya ketika mereka dewasa.
Pendidikan akhlak gagal bukan karena tidak diajarkan, tetapi karena tidak dicontohkan. Kita mengajarkan kejujuran di kelas, tetapi memberi teladan manipulasi di luar kelas. Kita mengajarkan disiplin, tetapi memfasilitasi pelanggaran. Dan semua ini bukan terjadi karena kita tidak tahu, melainkan karena kita terlalu malas dan terlalu nyaman untuk bersikap tegas.
Lebih mudah membiarkan anak membawa motor ketimbang menyediakan solusi transportasi. Lebih nyaman menutup mata pada penitipan motor ilegal ketimbang menertibkannya. Lebih aman bersandar pada alasan praktis ketimbang menghadapi kenyataan bahwa kita sedang membentuk generasi yang terbiasa mencari celah aturan.
Lalu, Apakah Semua Harus Begini Selamanya?
Tidak. Tapi perbaikan hanya bisa terjadi kalau semua pihak mau bekerja sama. Tidak cukup hanya mengandalkan spanduk larangan di gerbang sekolah. Harus ada sinergi nyata antara pihak-pihak terkait.
Orang tua adalah garda terdepan pembentukan karakter. Bukan sekadar memberikan fasilitas, tapi juga menanamkan nilai disiplin dan kesadaran hukum. Kalau benar peduli keselamatan anak, seharusnya orang tua rela sedikit repot---mengantar, mencarikan alternatif transportasi, atau bahkan membentuk kelompok antar-jemput bersama tetangga.
Sekolah, sebagai institusi formal, tidak boleh puas hanya dengan membuat aturan. Mereka harus mau turun tangan, menjalin kerja sama dengan masyarakat sekitar untuk menghapus "zona abu-abu" seperti penitipan motor ilegal, sekaligus memberikan sanksi tegas pada siswa yang melanggar. Pendidikan akhlak tidak akan berhasil kalau pelanggaran dibiarkan menjadi kebiasaan harian.
Pemerintah daerah melalui dinas terkait juga punya peran besar. Salah satu alasan utama anak membawa motor adalah minimnya transportasi umum yang layak, terjangkau, dan aman. Kalau jalur angkutan sekolah memadai, tidak mungkin orang tua terpaksa memberikan motor pada anak SMP atau SMA. Program bus sekolah gratis, rute khusus pelajar, atau subsidi transportasi bisa menjadi langkah konkret, bukan sekadar wacana.
Polisi pun tidak boleh sekadar razia musiman menjelang tahun baru atau Operasi Patuh tahunan. Penegakan disiplin di jalan harus konsisten, khususnya pada pengendara di bawah umur. Siswa yang kedapatan mengendarai motor tanpa SIM harus diarahkan, bukan hanya diberi tilang. Dan orang tua pun harus ikut bertanggung jawab, bukan sekadar membayar denda.
Kalau semua pihak bekerja bersama---orang tua, sekolah, pemerintah, dan kepolisian---bukan mustahil kondisi akan berubah. Larangan membawa motor tidak akan lagi menjadi aturan setengah hati, dan pendidikan akhlak tidak lagi mangkrak di ruang kelas.
Kuncinya: Sinkron Antara Tujuan dan Tindakan
Kita bisa menulis seribu halaman tentang pentingnya akhlak. Kita bisa menggelar seminar motivasi di aula sekolah setiap bulan. Tapi selama tujuan mulia itu tidak diikuti tindakan yang konsisten, hasilnya akan sama: aturan hanya berlaku di atas kertas, sementara moral terus diparkir di luar pagar sekolah.
Mungkin saatnya kita berhenti pura-pura tidak tahu. Mungkin sudah waktunya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin generasi yang disiplin karena paham, atau generasi yang lihai mengakali aturan karena sudah terlatih sejak remaja?
Kalau jawabannya yang pertama, maka tidak ada cara lain selain bergerak bersama. Karena akhlak tidak dibentuk oleh kata-kata, tapi oleh contoh yang konsisten. Dan konsistensi itu hanya akan lahir kalau semua pihak berjalan di jalur yang sama---bukan malah saling melempar tanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI