Pendidikan akhlak gagal bukan karena tidak diajarkan, tetapi karena tidak dicontohkan. Kita mengajarkan kejujuran di kelas, tetapi memberi teladan manipulasi di luar kelas. Kita mengajarkan disiplin, tetapi memfasilitasi pelanggaran. Dan semua ini bukan terjadi karena kita tidak tahu, melainkan karena kita terlalu malas dan terlalu nyaman untuk bersikap tegas.
Lebih mudah membiarkan anak membawa motor ketimbang menyediakan solusi transportasi. Lebih nyaman menutup mata pada penitipan motor ilegal ketimbang menertibkannya. Lebih aman bersandar pada alasan praktis ketimbang menghadapi kenyataan bahwa kita sedang membentuk generasi yang terbiasa mencari celah aturan.
Lalu, Apakah Semua Harus Begini Selamanya?
Tidak. Tapi perbaikan hanya bisa terjadi kalau semua pihak mau bekerja sama. Tidak cukup hanya mengandalkan spanduk larangan di gerbang sekolah. Harus ada sinergi nyata antara pihak-pihak terkait.
Orang tua adalah garda terdepan pembentukan karakter. Bukan sekadar memberikan fasilitas, tapi juga menanamkan nilai disiplin dan kesadaran hukum. Kalau benar peduli keselamatan anak, seharusnya orang tua rela sedikit repot---mengantar, mencarikan alternatif transportasi, atau bahkan membentuk kelompok antar-jemput bersama tetangga.
Sekolah, sebagai institusi formal, tidak boleh puas hanya dengan membuat aturan. Mereka harus mau turun tangan, menjalin kerja sama dengan masyarakat sekitar untuk menghapus "zona abu-abu" seperti penitipan motor ilegal, sekaligus memberikan sanksi tegas pada siswa yang melanggar. Pendidikan akhlak tidak akan berhasil kalau pelanggaran dibiarkan menjadi kebiasaan harian.
Pemerintah daerah melalui dinas terkait juga punya peran besar. Salah satu alasan utama anak membawa motor adalah minimnya transportasi umum yang layak, terjangkau, dan aman. Kalau jalur angkutan sekolah memadai, tidak mungkin orang tua terpaksa memberikan motor pada anak SMP atau SMA. Program bus sekolah gratis, rute khusus pelajar, atau subsidi transportasi bisa menjadi langkah konkret, bukan sekadar wacana.
Polisi pun tidak boleh sekadar razia musiman menjelang tahun baru atau Operasi Patuh tahunan. Penegakan disiplin di jalan harus konsisten, khususnya pada pengendara di bawah umur. Siswa yang kedapatan mengendarai motor tanpa SIM harus diarahkan, bukan hanya diberi tilang. Dan orang tua pun harus ikut bertanggung jawab, bukan sekadar membayar denda.
Kalau semua pihak bekerja bersama---orang tua, sekolah, pemerintah, dan kepolisian---bukan mustahil kondisi akan berubah. Larangan membawa motor tidak akan lagi menjadi aturan setengah hati, dan pendidikan akhlak tidak lagi mangkrak di ruang kelas.
Kuncinya: Sinkron Antara Tujuan dan Tindakan
Kita bisa menulis seribu halaman tentang pentingnya akhlak. Kita bisa menggelar seminar motivasi di aula sekolah setiap bulan. Tapi selama tujuan mulia itu tidak diikuti tindakan yang konsisten, hasilnya akan sama: aturan hanya berlaku di atas kertas, sementara moral terus diparkir di luar pagar sekolah.