Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Teknologi Menggeser Pedagogi?

13 Mei 2020   09:15 Diperbarui: 18 Mei 2020   16:34 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar di rumah dilakukan oleh salah satu siswi Fatih Puteri Bilingual, Banda Aceh.(DOK. FATIH SCHOOL ACEH)

Maka dalam keterbatasan, guru tetap dapat mendampingi pekembangan pengetahuan (head), keterampilan (hand), dan sikap/ nilai (heart) secara kreatif, kontekstual, dan berkesinambungan.

Foto pribadi:  Siswa-siswa SMA Kanisius Jakarta melakukan tari kolosal ondel-ondel dalam pekan pameran pendidikan.
Foto pribadi:  Siswa-siswa SMA Kanisius Jakarta melakukan tari kolosal ondel-ondel dalam pekan pameran pendidikan.
Keterbatasan memberikan ruang dan peluang siswa bereksperimentasi dan berelasi dalam interaksi humanistik secara langsung akan membuat pembelajaran mudah jatuh dalam relasi yang kaku, hanya fokus pada materi, jauh dari penanaman nilai dan kebermaknaan belajar.

Jika hasil survei tingkat kebahagiaan siswa di atas menggambarkan puncak gunung es situasi psikologis dan relasi pembelajaran  di kelas  reguler (tatap muka) tentu sesuatu yang memprihatinkan.

Sebaliknya, jika ketidakbahagian siswa dijadikan ukuran pembelajaran daring maka sesungguhnya ada suatu kerinduan positif para siswa untuk secepatnya kembali ke sekolah, bertemu teman-temannya, dan belajar secara normal seperti sedia kala. Energi ini mestinya dapat ditangkap orangtua dan guru agar siswa dengan sadar taat dengan aturan dan kebijakan pemerintah selama masa pandemic Covid-19.

Sebuah medan yang indah di mana siswa dapat menghidupi nilai dan keutamaan secara konkrit yang mungkin tak tersapa dalam pembelajaran tatap muka namun bersemi di masa karantina.

Guru dan orangtua dapat mengisi hari-hari dengan pembelajaran yang lebih mengolah hati dan nilai-nilai humanistik, mengasah  sikap kritis dan peduli, membangun sikap respek dan peduli pada sesama anggota keluarga.  Itu semua justru menguatkan asumsi bahwa intended (direncanakan) dan unintended (tidak direncanakan) selalu terjadi dalam implementasi kurikulum di sekolah.

 Semua itu adalah soal pedagogi, yakni seni cara mendidik dan menemani anak-anak yang lebih menyentuh hati. Guru yang memiliki kemampuan abstraksi dan komitmen memadai selalu menemukan cara untuk terus mendampingi dan membagikan apa yang dihidupi dengan hati dan akal budi. Mungkin, apa yang dilakukan guru saat ini tidak berjalan maksimal mengingat pola rancang pembelajaran bersifat langsung (face to face).

 Meski begitu, guru masih punya ruang untuk berkreasi dan berimaginasi dengan membawa praktik pembelajaran menyentuh ranah sosial, emosional, kolaborasi, komunikasi, imaginasi, dan kreasi. Dalam domain deperti itu, teknologi bukanlah harga mati yang harus dipenuhi. Dengan sedikit kemauan dan kreasi bisa jadi menggarap domain-domain itu akan memberikan dampak pengiring (nurturant effect) hasil belajar melebihi ekspektasi yang dibayangkan guru itu sendiri.

 Akhirnya, kreasi dan inovasi guru adalah kunci. Masyarakat boleh latah menuntut guru menguasai teknologi atau aplikasi berbasis internet demi pandemi teknologi segera teratasi.  Bisa jadi. Yang pasti, teknologi dan aplikasi hanyalah salah satu instrumen dalam strategi; dan karenanya ia tak akan pernah menggantikan pedagogi guru yang selama ini justru dianggap lemah dan tak mengalami inovasi dalam mendidik anak-anak negeri. ooo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun