Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sekolah Swasta yang Tidak Unik, Ditinggalkan Orang

23 Juli 2015   16:41 Diperbarui: 23 Juli 2015   17:00 3352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - pendaftaran sekolah (print.kompas)

Masa depan sekolah swasta di berbagai daerah di Indonesia mulai banyak yang “kritis”. Tidak terkecuali sekolah swasta yang berafiliasi dengan aliran atau bernafaskan agama tertentu.

Bahkan, angka jumlah pendaftar di sekolah swasta kelas menengah ke bawah maupun cacah sekolah dari waktu ke waktu cenderung menunjukkan penurunan.

Di lain pihak, situasi yang berbeda terjadi. Banyak sekolah swasta yang dikelola oleh pemodal-pemodal besar atau raksasa property baru bermunculan, baik dikelola oleh swasta tertentu maupun pribadi dengan misi yang samar antara social atau kepentingan bisnis yang kental.

Belum lagi kebijakan pemerintah menggratiskan biaya pendidikan mulai tingkat SD-SMA di sekolah negeri, menghentikan program bantuan guru DPK, menerapkan standar ganda guru negeri dan swasta dalam sertifikasi semakin melengkapi ancaman perkembangan sekolah swasta di masa depan.

Jika sekolah swasta tidak peka atau kurang mampu menangkap kebutuhan stakeholder secara luas, berlalunya era “kejayaan” sekolah swasta akan menjadi keniscayaan. Kita tidak boleh lupa bahwa bapak pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri sekolah swasta, Taman Siswa.

Selera konsumen saat ini

Harus diakui, saat ini, para orang tua semakin kritis memilih sekolah. Mereka tidak hanya menggunakan alasan fanatisme agama sebagai dasar pemilihan sekolah bagi anak-anaknya.

Parameter itu sudah bergeser. Sekarang para orang tua mulai menggunakan parameter baru. Beberapa pertimbangan itu antara lain a) seberapa kualitas layanan guru/ karyawan, yang bisa mereka berikan bagi anaknya. Indikatornya sederhana misalnya apakah selama ini siswa-siswa puas atau banyak keluhan yang dialamatkan guru/ karyawan, b) sejauhmana kenyamanan lingkungan belajarnya (learning environment), c) sejauhmana fasilitas (learning facility) yang dimiliki, d) program-program sekolah (school programs) yang ditawarkan dan e) tingkat keterjangkauan (accessible), baik dari segi demografi, transportasi, dan finansial.

Sekolah yang inklusif (terbuka bagi siapa saja) lebih diminati ketimbang sekolah eksklusif (hanyak untuk kelompok tertentu). Sekolah inklusif lebih bisa diterima dan menerima keberagaman dalam berbagai aspek dari para siswa maupun pada praktek pembelajarannya.

Bahkan dalam sebuah survey, sebagaimana dikutip Covey (2009), dunia kerja membutuhkan karyawan yang memiliki sifat dan karakter, seperti: terampil berkomunikasi, jujur/ integritas, kerjasama tim, terampil individu, inisiatif, etos kerja, terampil analisa, terampil teknologi, terampil organisasi, dan berpikir kreatif.

Tentu saja bukan berarti dunia kerja mendewakan “karakter” daripada “kemampuan”, karena bagi dunia kerja lebih mudah diajarkan/ dilatih sementara soal karakter sifatnya lebih mendalam.

Aktualisasi sifat dan karakter semacam itu tidak akan terbentuk begitu saja saat mereka memasuki dunia kerja tanpa melalui proses pembiasaan secara kontinyu dalam jenjang pendidikan di sekolah. Maka sekolah yang lebih terbuka dalam pengembangan “sifat dan karakter” demikian itu lebih diminati pendidikan lanjut, dunia kerja, dan masyarakat luas dibandingkan dengan yang tidak memilikinya.

Membangun keunikan

Sekolah swasta mau tidak mau dituntut realistis sekaligus menyadari bahwa stakeholders “fanatik” mereka mungkin telah bergeser. Asumsi tingkat satuan pendidikan di bawahnya akan menjadi feeder jenjang pendidikan berikutnya tidak sepenuhnya berlaku.

Tantangan dan ancaman pendidikan swasta harus kontekstual dengan perkembangan jaman dan era tanpa sekat (globalisasi) yang memborbardir praktik persekolahan mana pun dengan tuntutan, tegangan, dan ambiguitasnya.

Lalu hal strategik apa yang bisa dilakukan dalam konteks itu untuk memperkuat eksistensi sekolah swasta? Ada beberapa fokus perhatian yang bisa dipilih.

Pertama, menggeser paradigma kompetisi menjadi kolaborasi. Sekalipun kompetisi/persaingan akan memotivasi berbagai pihak untuk menjadi lebih baik, namun semangatnya selalu ingin mengalahkan pihak lain.

Dalam kontek penurunan jumlah pendaftar (student enrollment) misalnya, masing-masing sekolah swasta hanya akan berlomba menentukan waktu penerimaan siswa lebih awal agar bisa mendapat jumlah pendaftar lebih banyak. Sebaliknya, semangat kolaborasi dikedepankan maka para pimpinan sekolah swasta akan berpikir sebuah asosiasi bersama untuk menjembatani hal itu.

Kedua, mengekplorasi keunikan masing-masing sekolah. Alangkah indah, kalau setiap sekolah justru mulai menggali keunikan dan kekhasannya yang sangat dimungkinkan hal itu akan berbeda untuk setiap sekolah. Misalnya, sekolah A unggul dalam tradisi akademiknya (riset/ karya tulis) karena intake siswanya tinggi, sedangkan sekolah B justru unggul dalam tradisi humaniora (kelompok teater, film, atau linguistiknya), sementara sekolah C memiliki kelompok social (live in/ praktek sosial)/ kepemimpinan (kaderisasi, pelatihan organisasi) yang kuat.

Ketiga, menjual keunikan program-program sebagai keunggulan sekolah. Setiap keunikan yang diolah secara sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan misi-visi, sumber daya, dan stakeholders secara tepat akan menjadi keunggulan dan kekuatan sehingga menjadi daya jual sekolah itu pada masyarakat.

Dalam konteks itu, maka persaingan antar sekolah swasta dengan mencuri “waktu” terlebih dulu saat penerimaan siswa baru menjadi tidak relevan lagi sebab sekolah-sekolah itu menawarkan value yang berbeda-beda kepada masyarakat.

Keempat, menyelenggarakan sistem pendidikan multikultur. Selama ini pendidikan di sekolah swasta cenderung elitis dan eksklusif untuk kelompok terbatas. Selain tidak menguntungkan bagi perkembangan siswa ke depan, hal itu jelas tidak antisipatif terhadap realitas kehidupan yang bersifat beragam dan multikomplek.

Kelima, merancang kurikulum yang mampu mengakomodasi semakin banyak kebutuhan siswa (student need) yang berbeda tadi. Itu artinya, sekolah swasta tidak hanya terjebak pada keberagaman intake siswa semata, namun secara sadar merancang dan mengembangkan kurikulum yang lebih manusiawi dengan mendiferensiasi kurikulum sekolah baik aspek isi, proses, maupun hasil belajar yang diharapkan sesuai dengan visi-misi sekolahnya.

Dan keenam, sekolah swasta harus dipimpin orang-orang yang profesional dan visioner dalam pendidikan. Profesional karena dia seorang pemimpin pembelajaran (instructional leader), sekaligus memiliki cita-cita, mimpi, keprihatinan dan pandangan yang jauh (visioner) ke depan atas praktek persekolahan yang dijalankannya.

Pemimpin sekolah swasta tidak bisa lagi dipimpin oleh orang-orang yang hanya kebetulan “dekat” dengan yayasan sebagai wakil dari pemilik sekolah.

Sekalipun sulit pilihan itu harus diambil, karena masa depan sekolah swasta adalah masa depan negeri ini juga.

 

[1] Praktisi pendidikan di SMA Kanisius, Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun