Mohon tunggu...
theresa rindu
theresa rindu Mohon Tunggu... Universitas Katolik Musi Charitas

Saya seorang mahasiswa, dan juga guru. hobby baru drakoran nyampe tamat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Jarak Mengajari Kita Arti Menyentuh Tanpa Menyentuh

10 Oktober 2025   10:01 Diperbarui: 10 Oktober 2025   10:01 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada masanya ketika dua orang tidak lagi saling bertatap, tapi tetap saling hadir dalam cara yang tak bisa dijelaskan. Tidak ada genggaman tangan, tidak ada suara yang saling menyapa, hanya diam yang terasa penuh. Aneh ya? Jarak seolah memisahkan, tapi di sisi lain, ia mengajarkan kita cara baru untuk merasa dekat.

Filsafat selalu punya tempat untuk berbicara tentang jarak, bukan hanya secara fisik, tapi juga eksistensial. Martin Buber, seorang filsuf Yahudi, pernah menulis tentang dua jenis hubungan manusia : I-It dan I-Thou.  Dalam hubungan I-It, kita memandang orang lain sebagai "sesuatu", sebagai objek yang kita kendalikan atau butuhkan. Tapi dalam hubungan I-Thou, kita bertemu dengan "yang lain" sebagai subjek---sebagai pribadi yang utuh, yang tak bisa kita miliki atau taklukkan. Dan anehnya, pertemuan terdalam kadang justru terjadi ketika kepemilikan itu mustahil.

Cinta yang berjarak mengajarkan hal itu. Ia menanggalkan ilusi bahwa kedekatan selalu berarti keberadaan fisik. Bahwa sentuhan sejati tidak selalu lewat kulit, tapi bisa melalui kesadaran yang saling memahami, saling mengingat, saling menjaga dalam sunyi. Jarak menjadi ruang refleksi, tempat dua kesadaran berhadapan tanpa harus melebur.

Banyak orang takut jarak karena mereka mengira itu tanda akhir. Padahal, bisa jadi justru di situlah cinta diuji menjadi sesuatu yang lebih murni---bukan sekadar kelekatan, tapi pemahaman. Seperti kata Simone Weil, seorang pemikir spiritual Prancis, "Kedekatan yang sejati hanya mungkin ketika kita memberi ruang bagi yang lain untuk tetap menjadi dirinya sendiri." Mungkin itu sebabnya jarak bisa menjadi bentuk cinta yang paling jujur: ia tak menuntut apa pun, hanya mengizinkan yang lain untuk ada. 

Namun tentu, bukan berarti jarak selalu indah. Ada malam-malam di mana kesunyian terasa seperti dinding tebal yang tak bisa ditembus. Ada rindu yang menumpuk tanpa alamat, ada kenangan yang datang tanpa izin. Tapi justru di sanalah kita belajar arti "menyentuh tanpa menyentuh." Menyentuh lewat doa yang pelan, lewat lagu yang tiba-tiba terasa akrab, lewat keberanian untuk tetap berharap tanpa memaksa. 

Jarak membuat kita sadar bahwa yang kita cintai bukan hanya sosoknya, tapi juga maknanya dalam hidup kita. Ia menjadi semacam cermin: melalui kehilangan sementara, kita melihat lebih jelas siapa kita sebenarnya. Apakah cinta kita adalah keinginan untuk memiliki, atau keberanian untuk merelakan? 

Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu "menjadi" --- being-in-becoming. Dan dalam proses menjadi itu, relasi dengan orang lain punya peran penting. Kadang seseorang hadir bukan untuk menetap, tapi untuk menunjukkan bagian dari diri kita yang belum kita kenal.  Mungkin itulah alasan mengapa beberapa pertemuan tetap hidup bahkan setelah perpisahan. Karena yang tersisa bukan sekadar kenangan, melainkan transformasi: kita yang dulu berbeda dengan kita yang kini. 

Heidegger menyebut pengalaman seperti ini sebagai Dasein---keberadaan yang sadar akan dirinya di dunia. Melalui hubungan yang berjarak, kita diajak untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang terbatas, yang tidak bisa memiliki segalanya, tapi bisa menghayati segalanya.  Cinta, dalam pengertian itu, menjadi pengalaman spiritual: bukan tentang dua tubuh yang berdampingan, tapi dua keberadaan yang saling mengakui keberadaan masing-masing, bahkan di tengah ketidakhadiran. 

Dan pada akhirnya, jarak itu sendiri bisa menjadi bentuk kasih. Karena di balik diamnya, tersimpan pengakuan: bahwa kita tidak selalu harus dekat untuk saling mengerti, tidak selalu harus bersama untuk tetap terhubung.
Mungkin menyentuh tanpa menyentuh adalah cara alam mengajarkan manusia tentang batas dan kebesaran hati. Tentang bagaimana sesuatu yang tak terlihat bisa lebih nyata dari apa pun yang kasatmata. 

Jadi, ketika kamu merasa jauh dari seseorang yang pernah atau masih berarti, mungkin bukan berarti kisah itu berakhir. Mungkin itu hanya fase di mana semesta sedang mengajarkanmu untuk melihat cinta dari dimensi yang lebih luas---dimensi di mana tidak ada lagi "aku" dan "kamu", hanya dua jiwa yang pernah saling memahami, dan masih saling mendoakan dari kejauhan. 

Karena pada akhirnya, mungkin jarak hanyalah bentuk lain dari kedekatan.
Kita tidak selalu bisa menyentuh yang kita cintai, tapi kita bisa selalu merasakannya---di dalam kesadaran, dalam ingatan, dan dalam tenang yang pelan-pelan mengajarkan arti melepas tanpa kehilangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun