Surabaya, Juli 2025 --- Dosen-dosen Sastra Inggris dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya kembali menorehkan kontribusi penting dalam kajian akademik dan literasi gender. Melalui serangkaian kegiatan akademik bertaraf internasional, mereka tidak hanya mengangkat isu patriarki dalam karya sastra lintas budaya, tetapi juga memperkuat peran sastra sebagai media refleksi sosial dan perjuangan perempuan.
Dra. Sudarwati, M.Si., M.Pd. dan Dra. Anik Cahyaning R., M.Pd., dua dosen dari Fakultas Ilmu Budaya Untag Surabaya, bersama mahasiswa peneliti Theola Caesar Aisyah Sidik dan Christine Ananda Donna Rofinus, menyampaikan hasil riset mereka dalam English Language and Literature International Conference (ELLIC) 2025. Penelitian tersebut berjudul "The Impact of Male Domination on Female Characters in Ronggeng Dukuh Paruk, Yukiguni, and A House Without Windows."
Melalui analisis teks dari tiga novel lintas negara --- Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari, Indonesia), Yukiguni (Yasunari Kawabata, Jepang), dan A House Without Windows (Nadia Hashimi, Afghanistan) --- penelitian ini mengungkap bentuk-bentuk dominasi laki-laki terhadap tokoh perempuan. Dengan menggunakan teori patriarki dari Sylvia Walby, tim peneliti mengidentifikasi pola-pola eksploitasi seksual, kontrol ekonomi, manipulasi emosional, penghapusan suara perempuan, hingga pengucilan sosial yang dialami para tokoh perempuan utama.
Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk menjadi simbol bagaimana tradisi budaya dapat memperalat tubuh dan martabat perempuan. Komako dalam Yukiguni menghadapi relasi yang timpang dan penuh objektifikasi, meskipun terselubung dalam hubungan yang tampak "halus". Sementara itu, Zeba dalam A House Without Windows menjadi korban sistem hukum dan kehormatan yang bias gender, menunjukkan bagaimana budaya patriarki dapat membelenggu perempuan bahkan hingga ke ranah hukum dan spiritual.
Tak berhenti di forum konferensi, penelitian ini juga berhasil dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional bergengsi, yakni International Journal of Language, Linguistics, Literature and Culture (IJLLLC). Artikel tersebut dimuat dalam Volume 4 Nomor 2 edisi Maret--April 2025, menandai pencapaian akademik penting dari Fakultas Ilmu Budaya Untag Surabaya di kancah global. Artikel ini menekankan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai refleksi nyata atas penindasan sistemik dan bahwa kesadaran literasi gender sangat penting dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai bentuk diseminasi pengetahuan yang lebih luas, dua sesi Focus Group Discussion (FGD) juga digelar dalam rangka memperdalam diskusi mengenai budaya patriarki dan keterkaitannya dengan representasi perempuan dalam sastra:
- FGD 1 mengangkat pembacaan kritis terhadap Ronggeng Dukuh Paruk dan Yukiguni, melibatkan mahasiswa, dosen, dan pengamat sastra untuk membedah bagaimana relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dibentuk dan dipelihara dalam karya sastra klasik.
- FGD 2 secara khusus membahas novel A House Without Windows dengan fokus pada kondisi perempuan Afghanistan serta bagaimana budaya dan agama dapat menjadi alat kontrol atas tubuh dan suara perempuan. FGD ini juga membuka diskusi lintas budaya tentang bagaimana perjuangan perempuan menghadapi sistem patriarkal yang berbeda konteks namun serupa dalam esensi.
Diskusi-diskusi ini tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga membuka ruang refleksi dan perenungan atas realitas yang masih berlangsung dalam kehidupan nyata perempuan di berbagai belahan dunia.
Melengkapi rangkaian kegiatan tersebut, Dra. Sudarwati dan Dra. Anik Cahyaning R. juga meluncurkan buku berjudul "Budaya Patriarki". Buku ini menjadi medium literasi populer yang mengajak masyarakat luas untuk "menemukan suara perempuan dalam budaya yang membungkam mereka." Dengan sampul yang simbolis --- siluet perempuan kecil di balik bayang-bayang dominasi laki-laki --- buku ini mengajak pembaca memahami bagaimana budaya yang diwariskan justru bisa melanggengkan ketimpangan, dan bagaimana suara perempuan sering kali terpinggirkan dalam struktur sosial dan keluarga.
Buku ini tidak hanya menjadi pelengkap karya ilmiah, tapi juga menjadi seruan moral untuk menghadirkan keadilan dan kesetaraan melalui kesadaran budaya dan literasi. Melalui kerja akademik yang konsisten dan berdampak, dosen-dosen Sastra Inggris Untag Surabaya membuktikan bahwa dunia akademik memiliki peran penting dalam menciptakan wacana perubahan, membongkar ketidakadilan struktural, dan menyuarakan mereka yang selama ini dibungkam.