Mohon tunggu...
Matthew Immanuel
Matthew Immanuel Mohon Tunggu... Mahasiswa

I am an International Relations student who enjoys exploring new and challenging experiences. I am also passionate about volunteering and contributing to meaningful causes.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagaimana Realisme, Neorealisme, Liberalisme, dan Neoliberalisme Menjelaskan Perilaku Negara di Dunia Internasional?"

15 Oktober 2025   02:25 Diperbarui: 15 Oktober 2025   02:23 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam studi Hubungan Internasional, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa negara berinteraksi di panggung dunia. Dari sekian banyak teori, empat di antaranya yang paling berpengaruh dan sering dibandingkan adalah Realisme, Neorealisme, Liberalisme, dan Neoliberalisme. Meskipun keempat teori ini lahir dari konteks sejarah dan pemikiran yang berbeda, semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu memahami perilaku negara dalam sistem internasional yang kompleks dan penuh ketidakpastian.

Pada dasarnya, keempat teori tersebut memiliki beberapa kesamaan mendasar. Semuanya menganggap negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional, serta menyadari bahwa dunia berada dalam kondisi anarki, artinya tidak ada otoritas tertinggi yang bisa mengatur atau memaksa negara untuk tunduk pada aturan bersama. Dalam situasi seperti itu, setiap negara harus bertindak secara rasional dan memikirkan kepentingannya sendiri agar dapat bertahan hidup dan mencapai tujuannya. Namun, meskipun sama-sama mengakui adanya anarki dan rasionalitas negara, keempat teori ini berbeda dalam memandang sifat dasar manusia, makna kekuasaan, serta peluang untuk menciptakan kerja sama internasional.

Realisme, misalnya, melihat dunia sebagai arena persaingan kekuasaan yang tiada akhir. Teori ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes yang menggambarkan kehidupan manusia dalam keadaan tanpa otoritas sebagai “perang semua melawan semua.” Dalam pandangan realis, negara berperilaku seperti manusia dalam kondisi Hobbesian itu selalu curiga terhadap negara lain, berusaha memperkuat diri, dan mengandalkan kekuasaan demi bertahan hidup. Bagi realis seperti Hans J. Morgenthau, politik internasional pada dasarnya adalah perjuangan abadi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini, kerja sama antarnegara bisa saja terjadi, tetapi hanya bersifat sementara dan dilandasi oleh kepentingan masing-masing. Dunia menurut realis bisa diibaratkan seperti pertandingan sepak bola tanpa wasit, di mana setiap tim ingin menang dan tak ada otoritas yang bisa menegakkan aturan secara adil.

Pemikiran Realisme kemudian berkembang menjadi Neorealisme melalui gagasan Kenneth Waltz. Waltz setuju bahwa dunia memang anarkis, tetapi menurutnya penyebab konflik tidak semata-mata karena sifat manusia yang egois, melainkan karena struktur sistem internasional yang memaksa negara untuk mengandalkan diri sendiri. Dalam sistem tanpa penguasa tertinggi, setiap negara hidup dalam ketidakpastian dan harus siap menghadapi ancaman dari negara lain. Akibatnya, negara terus berupaya memperkuat pertahanannya, dan tindakan itu sering kali memicu kekhawatiran negara lain, sehingga terciptalah apa yang disebut sebagai dilema keamanan. Ibarat sekelompok anak yang hidup tanpa pengawasan orang tua, masing-masing berusaha membawa alat perlindungan bukan karena ingin menyerang, tapi karena takut diserang terlebih dahulu. Inilah logika dasar Neorealisme bahwa perilaku negara dibentuk oleh struktur sistem internasional, bukan semata-mata oleh niat atau moralitas pemimpinnya.

Berbeda dari pandangan pesimistis kaum realis, Liberalisme justru melihat peluang besar bagi kerja sama dan perdamaian di dunia internasional. Tokoh seperti Immanuel Kant percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar, bekerja sama, dan menciptakan tatanan yang lebih damai. Liberalisme berangkat dari keyakinan bahwa konflik bukanlah satu-satunya jalan dalam hubungan antarnegara; negara bisa saling berinteraksi melalui diplomasi, perdagangan, dan lembaga-lembaga internasional. Dalam pandangan ini, demokrasi dan keterbukaan ekonomi justru menjadi faktor penting yang mendorong stabilitas. Dunia bagi kaum liberal bisa diibaratkan seperti pasar yang ramai, di mana para pedagang saling membutuhkan satu sama lain. Karena ketergantungan itu, perang menjadi pilihan terakhir, sebab yang dirugikan bukan hanya satu pihak, melainkan semua.

Dari pemikiran liberal inilah lahir Neoliberalisme, yang mencoba menjawab tantangan dari Neorealisme. Neoliberalisme mengakui bahwa sistem internasional memang anarkis, tetapi menolak anggapan bahwa anarki pasti menimbulkan konflik. Menurut tokoh-tokoh seperti Robert Keohane dan Joseph Nye, negara masih bisa bekerja sama secara rasional meski tanpa otoritas global, asalkan ada lembaga internasional yang mengatur dan memfasilitasi interaksi antarnegara. Mereka memperkenalkan konsep interdependensi kompleks, yaitu keadaan di mana negara-negara saling bergantung melalui hubungan ekonomi, teknologi, dan komunikasi. Misalnya, dua negara besar yang bersaing secara politik mungkin tetap menahan diri untuk tidak berkonflik karena keduanya memiliki hubungan dagang yang saling menguntungkan. Dalam analogi sederhana, dunia menurut neoliberalis mirip seperti kehidupan teman satu kos yang memiliki karakter berbeda tetapi tetap bekerja sama karena saling membutuhkan. Satu mungkin jago memasak, sementara yang lain punya kendaraan untuk belanja bersama.

Jika dilihat dari perbandingan tersebut, Realisme dan Neorealisme cenderung memandang dunia sebagai tempat yang keras dan penuh persaingan, sedangkan Liberalisme dan Neoliberalisme melihat adanya peluang untuk membangun kerja sama yang saling menguntungkan. Realisme menekankan pada sifat egois manusia dan pentingnya kekuasaan, sementara Neorealisme menyoroti struktur sistem internasional sebagai penyebab utama konflik. Di sisi lain, Liberalisme menekankan peran moral, demokrasi, dan institusi dalam menciptakan perdamaian, sedangkan Neoliberalisme menambahkan bahwa struktur yang sama yang disebut anarki justru bisa dikelola agar mendorong kerja sama melalui aturan dan lembaga global.

Pada akhirnya, keempat teori ini tidak bisa dikatakan benar atau salah secara mutlak. Dunia nyata sering kali merupakan campuran dari semua teori tersebut. Dalam beberapa situasi, negara bersikap realistis dan mengutamakan keamanan, tetapi dalam isu lain, seperti perubahan iklim atau perdagangan internasional, negara justru mengandalkan kerja sama seperti yang digambarkan kaum liberalis. Dengan memahami keempat teori ini, kita bisa melihat bahwa hubungan internasional tidak hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang upaya manusia untuk mencari keseimbangan antara kepentingan dan perdamaian. Masing-masing teori ibarat jendela berbeda yang menunjukkan pemandangan yang sama, hanya dari sudut pandang yang berlainan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun