Saking asyiknya scrolling media sosial tadi malam--tertawa saat melihat hal yang lucu, cemberut dan ngomel sendiri saat menemukan hal yang menjengkelkan-- Saya tidak menyadari kalau waktu sudah bergeser ke jam sepuluh malam. Terkaget-kaget jadinya, baru sadar kalau Saya diam di situ selama dua jam, di depan layar gadget!
Begitulah, sepertinya Saya tidak sendiri. Saya adalah salah satu contoh nyata diantara begitu banyak orang disekitar yang hidupnya tidak bisa lepas dari media sosial.
Dunia yang gaduh
Tanpa sadar, kita selalu hidup dalam kebisingan. Kebisingan yang menyamar sebagai informasi. Bangun tidur, sudah disambut dengan notifikasi. Sebelum tidur pun demikian, pikiran kita masih sibuk mencerna potongan berita, pekerjaan atau apapun itu.
Linimasa medsos seakan tak berhenti mengalir. Lebih dari orang yang harus minum obat tiga kali sehari! Setiap saat, berita-berita yang tidak mengenakkan berseliweran, saling berdebat untuk hal yang tak jelas, dan hal-hal receh yang membuat kepala pusing.
Bahkan, Paus Fransiskus pun pernah menulis demikian,
“Kita dibombardir oleh informasi. Kita tidak dapat selalu memprosesnya dengan tenang, dan ini membuat kita kehilangan kemampuan untuk merenung.”
Media sosial, yang awalnya diniatkan untuk mempererat, kini menjadi panggung kegaduhan. Setiap orang merasa harus bicara, menanggapi, merespons secepatnya.
Kita sering merasa terhubung dengan seseorang, dengan mereka, namun kadang tidak benar-benar hadir di sana. Kita telah terbiasa memberi aksi dan bereaksi dengan begitu cepat. Bereaksi karena benar-benar peduli atau hanya sekedar mencari sensasi, sulit diketahui perbedaannya.
Lebih dari itu, kegaduhan juga bukan hanya soal suara luar, tapi juga batin yang kacau. Mungkin masih ada kecemasan yang menggumpal, luka yang belum benar-benar sembuh, atau ekspektasi yang menguras hati.