Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Joki Ilmiah dan Praktek Pelecehan di Kampus

20 Februari 2023   05:00 Diperbarui: 20 Februari 2023   09:32 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock via KOMPAS.com)

Berita tentang praktek perjokian di lingkup akademisi, seakan menampar wajah pendidikan di Indonesia. Mengindikasikan lemahnya pengawasan terhadap praktek kejahatan terselubung di dalamnya.

Praktek joki ilmiah yang marak diperbincangkan akhir-akhir ini, sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Sang joki, alias penjual jasa, ada yang secara terang-terangan menawarkan jasa pembuatan sebuah karya ilmiah. 

Penawaran sang joki bisa ditemukan dengan mudah melalui selebaran yang ditancapkan pada lokasi strategis, melalui media online dan lain sebagainya. Jasa joki ilmiah pada akhirnya dimanfaatkan oleh mereka yang 'kepepet' dengan berbagai alasan. Seperti simbiosis mutualisma antara kedua belah pihak. Sang joki butuh cuan, dan pihak lainnya butuh hasil.

Kejahatan dibalik praktek joki ilmiah di kampus

Sayangnya, praktek joki ilmiah ini juga justru terjadi di dalam lingkaran kampus. Dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya kaum terpelajar. Kampus, sebagai tempat yang harusnya bebas dari praktek seperti demikian, masih bisa kecolongan juga.

Yaah.....namanya juga kejahatan.

Kejahatan dapat bersembunyi di balik aturan yang diterapkan. Kejahatan dapat membungkus dirinya dibalik topeng kebaikan yang ditawarkan.

 Kejahatan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Kejahatan tidak terjadi hanya karena munculnya niat, tapi juga karena ada kesempatan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melancarkan aksinya.

Perjokian ilmiah di kampus rawan terjadi selama masa penulisan tugas akhir. Umumnya yang jadi korban adalah mahasiswa bimbingan atau yang diuji, dan pelakunya adalah 'orang dekat' si mahasiswa. Bisa pembimbing, juga penguji!

Berbeda dengan perjokian pada umumnya, praktek joki ilmiah di kampus punya embel-embel istimewa. Sang oknum mengerjakan tulisan ilmiah dan si mahasiswa harus memberikan 'balasan' yang setimpal bagi bantuan yang diberikan padanya. Bukan duit, tapi perlakuan 'plus' terhadap si mahasiswa!

Sexting, mengirimkan gambar tak senonoh, cium pipi, kening atau bibir atau bahkan menyentuh bagian tubuh korban adalah bagian dari kejahatan sexual yang terjadi di lingkungan kampus. 

Lantas, mengapa kejahatan ini terus berulang terjadi?

Relasi kuasa

Relasi kuasa yang terjadi di kampus berpotensi untuk menjadikan bentuk kejahatan ini meluas seolah tanpa batas. Sang predator yang bersembunyi dibalik statusnya sebagai seorang yang terpelajar yang memiliki posisi dominan, dengan mudah melakukan aksinya.

Pada umumnya, yang menjadi korban adalah mahasiswa dengan kemampuan akademik yang terbatas.Hal ini biasanya tidak terjadi begitu saja. Sang predator, telah mempelajari situasi yang ada.

Rekam jejak si mahasiswa sudah ada di tangannya. Beberapa kali pertemuan saja, biasanya sudah bisa menyimpulkan batas kemampuan akademik korbannya. 

Jangan pernah membuka pintu bagi kejahatan yang kecil, karena kejahatan yang lebih besar dan yang lainnya akan silih berganti menyelinap setelah itu - Baltasar Gracian

Posisi korban lemah

Perempuan adalah makhluk yang paling sering menjadi korbannya. Komnas Perempuan menyebutkan terdapat 67 kasus kekerasan pada perempuan di lingkungan pendidikan sejak tahun 2015-2021. Kekerasan seksual menempati urutan tertinggi, sebanyak 87,91%. 

Posisi korban yang lemah, membuat mereka tak berdaya. Ketakutan tidak diluluskan oleh sang dosen, atau mendapatkan nilai yang rendah, membuat mereka nyaris tidak mampu melawan. Rasa malu karena dilecehkan dan juga tidak tahu harus mengadu kemana, tak urung membuat korban frustrasi.

Foto : Anete Lusina/Pexels.com
Foto : Anete Lusina/Pexels.com

Predator yang berada pada posisi dominan akan dengan mudah memberikan intimidasi terhadap korban yang berada pada posisi sub dominan. Intimidasi bisa disertai dengan iming-iming tertentu. Ya itu tadi, membantu membuatkan karya ilmiah, meluluskan mahasiswa dengan nilai tinggi dan lain sebagainya. 

Tidak diatur dalam kebijakan, norma atau tolok ukur

Setiap pelanggaran yang berkaitan dengan kejahatan sexual di kampus, belum termuat secara jelas dalam kebijakan, norma atau tolok ukur yang ada.

Akibatnya, pada saat kasus terjadi, institusi akan kesulitan untuk menentukan langkah yang harus diambil, terhadap korban, maupun terhadap pelaku.

Apa yang harus dilakukan?

Permendikbudristek Nomor 30/2021 telah mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan sexual di lingkungan Perguruan tinggi. Sanksi akademik atau sanksi pidana akan dikenakan dengan ketentuan tertentu.

Perguruan Tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kasus seperti ini dapat diturunkan status akreditasinya dan bisa tidak mendapatkan bantuan sarana prasarana dari Kementerian. 

Selain karena lemahnya regulasi, kejahatan sexual di lingkungan kampus terjadi karena adanya pembiaran yang terjadi secara sengaja atau tidak sengaja.

Untuk itu pencegahan perlu dilakukan, untuk memberikan perlindungan kepada korban dan calon korban. Kebijakan serta pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan sexual di lingkup kampus harus dibuat. 

Selain itu, satuan tugas perlu dibentuk. Satgas terdiri dari unsur pendidik, tenaga kependidikan dan unsur mahasiswa di dalamnya. Selain agar korban mendapatkan perlindungan dan pelayanan, Satgas juga memiliki tugas untuk memastikan bahwa tidak ada unsur kekerasan sexual di dalam lingkup kampus yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya.

Batasi pertemuan antara mahasiswa dengan dosen atau tenaga kependidikan di luar jam operasional kampus atau di luar area kampus. Hal ini dilakukan untuk mencegah peluang terjadinya pelecehan sexual pada korban. Ingat, kejahatan bisa terjadi karena kesempatan, bukan?

Menyediakan layanan aduan. Kampus diwajibkan untuk memiliki layanan aduan, terutama untuk mereka yang mengalami kekerasan sexual. Jaminan keamanan serta identitas yang dirahasiakan menjadi bagian yang perlu diutamakan dalam hal ini. 

Ini dimaksudkan agar pelapor bebas menyampaikan keluhannya, tanpa takut diintimidasi oleh pihak manapun dan mendapatkan bantuan sesegera mungkin.

Semoga ke depannya, wajah pendidikan kita menjadi jauh lebih baik lagi.

Kupang, 20 Februari 2023

Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana

***

Referensi : 1, 2, Permendikbudristek No 30/2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun