Mohon tunggu...
niqi carrera
niqi carrera Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sebagai ibu, ikut prihatin dan resah dengan kondisi sekitar yang kadang memberi kabar tidak baik. Dengan tulisan sekedar memberi sumbangsih opini dan solusi bangsa ini agar lebih baik ke depan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

342 Juta Perempuan dalam Kemiskinan Ekstrem: Apa Solusinya?

15 September 2023   13:38 Diperbarui: 13 Oktober 2023   09:15 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kemiskinan ekstrem perempuan pexels.com/Mumtahina Tanni 

Pada tahun 2030, diperkirakan lebih dari 342 juta perempuan dan anak perempuan, atau sekitar 8% populasi perempuan di seluruh dunia, akan hidup dalam kemiskinan ekstrem, demikian peringatan yang disampaikan oleh PBB. Angka ini merupakan refleksi dari ketidaksetaraan ekonomi yang masih merajalela di berbagai belahan dunia. Kemiskinan ekstrem, yang sering kali berarti hidup di bawah garis kemiskinan global yang ditetapkan oleh PBB (kurang dari $1,90 per hari), memiliki dampak yang menghancurkan pada kehidupan perempuan dan anak perempuan.

Namun, kemiskinan ekstrem hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang dihadapi perempuan secara global. Terlepas dari upaya besar yang telah dilakukan oleh PBB dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), hasilnya masih jauh dari memadai. Bahkan, PBB telah memperingatkan bahwa program SDGs secara keseluruhan berada dalam bahaya, dan hal ini harus menjadi sorotan serius bagi kita semua.

Kesetaraan Gender dan SDGs

Salah satu poin utama dalam SDGs adalah mencapai kesetaraan gender, yang mencakup penghapusan diskriminasi gender, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, menghentikan perkawinan anak, dan melarang praktik mutilasi alat kelamin perempuan. SDGs juga berupaya untuk memastikan bahwa beban pekerjaan rumah tangga dibagikan secara adil, memberikan akses yang setara ke layanan kesehatan reproduksi, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan ekonomi.

Namun, sayangnya, upaya ini masih jauh dari mencapai tujuannya. Data dari UN Women menunjukkan bahwa setiap tahunnya, 245 juta perempuan di atas usia 15 tahun menjadi korban kekerasan fisik oleh pasangan mereka sendiri, dan 20% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Perempuan juga masih melakukan pekerjaan rumah tangga 2,8 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki, tanpa menerima bayaran. Terlebih lagi, perempuan hanya mewakili 26,7% dari seluruh pembuat kebijakan di seluruh dunia.

Wakil Direktur Eksekutif UN Women, Sarah Hendriks, telah menyoroti bahwa solusi untuk permasalahan global perempuan membutuhkan pembiayaan sekitar $360 miliar per tahun di 50 negara berkembang, yang mewakili 70% populasi dunia. Dana tersebut dianggap mampu mengangkat seluruh agenda SDGs. Selain itu, ia menegaskan pentingnya menjadikan kesetaraan gender sebagai tujuan khusus dalam SDGs.

Namun, apakah permasalahan global perempuan, terutama dalam konteks kemiskinan ekstrem, hanya dapat dipecahkan dengan dana yang besar? Apakah kesetaraan gender adalah satu-satunya solusi yang diperlukan? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita pertimbangkan dengan serius.

Tantangan Fundamental: Kapitalisme dan Sekularisme

Salah satu akar dari permasalahan kesetaraan gender dan kemiskinan ekstrem adalah sistem kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini. Kapitalisme cenderung mengedepankan keuntungan material dan eksploitasi sumber daya, yang seringkali berdampak buruk pada perempuan, terutama mereka yang hidup dalam kondisi ekonomi yang rentan.

Selain itu, sekularisme---pemisahan agama dari kebijakan publik---telah menghilangkan kerangka moral yang kuat yang mendorong perlindungan hak-hak perempuan. Oleh karena itu, solusi yang lebih mendalam untuk permasalahan ini perlu mencakup pertimbangan untuk mengubah dasar sistem ekonomi dan nilai-nilai yang mendasarinya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun