Mohon tunggu...
Djoko Susilo
Djoko Susilo Mohon Tunggu... -

mencoba untuk berbagi pemikiran dan cerita, untuk selengkapnya bisa kunjungi blog saya http://www.thedjokosusilo.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

Subsidi dan Nalar Sehat Orang Swiss

7 Januari 2014   01:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari ini jika kita membaca berita Koran, melihat talk show di TV dan juga mengikuti diskusi di forum social media di internet, topic utamanya umumnya soal kenaikan harga LPG oleh Pertamina. Para komentator banyak yang menghujat PERTAMINA dan tentu saja juga kementerian BUMN yang menaungi perusahaan penting milik pemerintah tersebut. Dari jauh saya ikuti perdebatan itu, intinya banyak komentar yang ngawur di kalangan awam, yang masih bisa dimaklumi dan pernyataan cari muka dari para politisi, yang sangat disesalkan.


Masalah kenaikan harga LPG Pertamina sudah sangat jelas, bahwa perusahaan itu selama ini menjual barang dibawah harga produksinya. Nalar sehat pengusaha dimana pun tidak akan melakukan hal tersebut, tetapi selama ini PERTAMINA terpaksa melakukannya. LPG tabung 12 Kg itu dimaksudkan untuk konsumsi kelas menengah atas, jadi wajar tidak disubsidi. Untuk masyarakat tidak mampu pemerintah sudah memberikan subsidi  dalam LPG tabung 3 kg. Saya tidak tahu pertimbangan apa yang menyebabkan PERTAMINA dulu menjual dengan dibawah harga keekonomian, tapi yang jelas, akibat menjual degan harga dibawah ongkos produksi, maka sejak empat tahun terakhir ini perusahaan Negara ini mengalami kerugian per tahun 6 trilyun dari bisnis LPG nya ini. BPK pun memberikan teguran atas terjadinya kerugian tersebut, sehingga PERTAMINA akhirnya menaikkan harga jual LPG, yang juga masih rugi, tapi kira-kira sekarang hanya 2 triliun setahun.


Kalau dihitung secara detil, sebenarnya kenaikan itu hanya membebani konsumen kelas menengah sekitar Rp.1,500 per hari yang jika diuangkan juga tidak bisa membeli apapun. Mungkin untuk perokok, kenaikan itu satu bulan bisa saja sama dengan 3 bungkus rokok. Lumayan. Tapi efek bagi negara, sesuai dengan audit BPK, terjadi potensi kekurangan keuntungan 6 trilyun setiap tahun. Dengan dana 6 trilyun ini sudah berapa sekolah  dan puskesmas yang bisa dibangun, berapa ratusan kendaraan bisa dibeli untuk transportasi public.


Belum lama ini, saya bertamu ke rumah teman saya seorang professor di University of St Gallen, Swiss yang rumahnya di pelosok desa. Meski jauh di pelosok desa, yang sangat sepi dan pemandangan alamnya sangat indah, dia tidak mengalami kesulitan kalau harus mengajar di kampusnya di Jenewa atau di St Gallen. Rumah kediaman teman saya itu di wilayah Basel, yang berbatasan dengan Jerman dan Prancis. Tetapi sebagaimana pemukiman lain di Swiss selalu terjangkau oleh kendaraan umum.


Dari dia, saya mengetahui, Swiss itu dulu sangat melarat. Yang dimiliki hanya gunung dan air. Di masa lalu ekspor Swiss hanyalah tenaga manusianya yang bekerja sebagai pasukan bayaran untuk beberapa Negara Eropa lainnya. Salah satu warisannya sekarang ini ialah Swiss Guard yang menjadi pasukan pengawal keamanan Sri Paus di Vatikan yang masih mempertahankan tradisinya hanya merekrut warga Katholik Swiss. Tetapi sejak masyarakat Swiss menggunakan nalar sehatnya dalam mengurus negaranya, maka secara bertahap Swis menjadi modern, maju dan sejahtera. Saat ini Swiss adalah Negara paling makmur di dunia, bahkan  ketika Negara Eropa lainnya mengalami krisis ekonomi dan keuangan, Swiss makin terus Berjaya.


Nalar sehat orang Swiss ini diwujudkan dalam format politik pemerintahan maupun perilaku politik para pemimpinnya. Dalam sistem pemerintahan Swiss dari level federal, kanton (provinsi) , kabupaten/kota sampai kelurahan, prinsip kepemimpinannya adalah kolegial. Jadi tidak ada “boss” yang paling berkuasa. Keputusan harus diambil secara musyawarah dan mufakat. Tidak ada anggota kabinet yang merasa lebih berkuasa  dari yang lain. Makanya dalam sistem pemerintahan Swiss, presiden, gubernur, walikota dan lurah hanya menjabat setahun secara bergiliran. Tidak ada yang perlu merasa iri.



Sebagai pejabat, mereka tidak mendapat perlakuan istimewa. Hampir empat tahun saya di Swiss, tidak pernah saya melihat ada pejabat Swiss naik mobil dengan iringan patwal polisi. Malahan seringkali para menteri itu naik trem, KA, bus atau kendaraan umum lainnya. Gaji dan fasilitas pun hanya secukupnya saja, bahkan jauh dibawah gaji perusahaan swasta. Mereka pun tidak sembarangan memanfaatkan fasilitas. Meski Swiss negara yang sangat kaya, ketika berkunjung ke Indonesia tahun 2010 yang lalu presiden Doris Leuthard naik pesawat komersial. Dia didampingi suami yang juga harus membayar tiket sendiri.


Setelah mengatur pemerintahannya dengan baik, warga Swiss juga konsekwen mendukungnya dengan membayar pajak. Dari hampir 8 juta warga Swiss, diperkirakan hanya sekitar 20% saja yang tidak membayar pajak pendapatan dan ini karena pendapatan mereka dibawah standar Swiss untuk wajib membayar pajak. Jadi, mereka tidak membayar pajak ini karena tidak mampu. Malahan mereka mendapat bantuan Negara melalui dana jaminan sosial. Bandingkan dengan di Indonesia dimana jumlah pembayar pajak masih kurang dari 15% dari jumlah penduduk. Tapi herannya, warga yang tidak membayar pajak ini begitu banyak tuntutannya kepada pemerintah, minta berbagai macam haknya. Di Swiss, mereka punya prinsip yang sederhana: anda bayar pajak, anda dapat layanan bagus. Anda tidak bayar pajak, negara sulit memberikan layanan yang terbaik. Kunci pembangunan negara memang , salah satunya, dari ketaatan warganya membayar pajak.


Setelah beres dengan urusan pajak, pemerintah membuat alokasi besaran untuk apa  pajak dan pendapatan negara lainnya itu. Kebijakan dasar ini ditentukan oleh parlemen dan implementasi detilnya oleh birokrasi pemerintahan. Namun jika rakyat tidak suka dengan keputusan yang diambil, mereka bisa mengajukann petisi untuk menentangnya dan membatalkan peraturan tersebut melalui referendum.


Dalam membuat alokasi anggaran ini, masyarakat Swiss menggunakan paradigma akal sehat. Sebab mereka sadar, negara mereka tidak mempunyai kekayaan apa-apa kecuali air, gunung dan pemandangan alam yang indah. Oleh karenanya, sumber daya tidak boleh diboroskan begitu rupa, terutama sumber daya alam yang tidak terbarukan seperti BBM, gas,  dan sebagainya. Mereka menginvestasikan uang pajak pada pendidikan dan kesehatan secara habis-habisan, sebab hanya dengan manusia yang cerdas dan sehat, maka Swiss akan tetap bisa menjadi negara maju dan kompetitif.


Warga Swiss sadar, gas dan BBM harus dihemat, karena itu harganya harus mahal dan dikenakan pajak lingkungan. Ini untuk memaksa  masyarakat berhemat dengan BBM dan gas yang harus diimpor. Karena Swiss kaya dengan air, untuk keperluan listrik mereka menggunakan 70% tenaga hidro dan 30 persen tenaga nuklir. Walhasil, ongkos listrik di Swiss jauh lebih murah dari pada di Indonesia. Seorang staf saya yang tinggal di apartemen dengan 3 kamar, rata-rata sebulan hanya perlu membayar 40 CHF ( sekitar 500 ribu). Selain ramah lingkungan, listrik dari tenaga air ini sangat murah dan merupakan energi yang terbarukan. Karena listrik murah, semua peralatan rumah tangga pun lebih efisien dengan tenaga listrik. Kendaraan umum seperti bus kota, trem dan kereta antar kotapun semuanya menggunakan tenaga listrik. Tidak mengherankan jika Swiss salah satu Negara yang lingkungannya paling bersih di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun