Pernahkah kalian merasa seperti aplikasi belanja online dapat membaca pikiran kalian? Misalnya, baru kemarin kita browsing sneakers, keesokan harinya timeline Instagram sudah penuh iklan sepatu. Atau saat lagi galau memilih skincare, tiba-tiba dapat notifikasi flash sale produk kecantikan. Nah, ini bukan kebetulan lho! Di balik semua ini ada algoritma rekomendasi, yaitu program komputer pintar yang tugasnya menganalisis perilaku kita supaya dapat memperkirakan apa yang akan kita beli selanjutnya. Sebagai mahasiswa yang baru belajar tentang sains data, saya akan coba jelaskan dengan bahasa sederhana mengapa kita bisa kompulsif belanja online gara-gara teknologi ini.
Jadi, algoritma rekomendasi dasarnya adalah machine learning atau pembelajaran mesin. Bayangkan komputer sebagai mahasiswa yang belajar dari data. Setiap kali kita klik produk, scroll halaman, atau membeli sesuatu, semua aktivitas itu menjadi data yang dipelajari komputer. Ada dua metode utama yang digunakan, yang pertama yaitu Collaborative Filtering
Ini seperti jika teman kita menyukai produk A, mungkin kita akan suka produk A juga. Misal, jika 500 orang yang membeli hp A juga membeli casing warna hitam, maka ketika ada pembeli hp A, sistem akan merekomendasikan casing hitam.
Lalu selanjutnya ada Content-Based Filtering
Hal ini lebih fokus ke karakteristik produknya. Misalnya kalau kita sering beli baju warna putih merek Z, sistem akan merekomendasikan baju putih dari merek lain atau produk Z warna lain.
Nah, meski begitu yang membuat algoritma ini makin mengerikan adalah kemampuannya untuk menganalisis pola waktu dan perilaku kita. Sistem dapat mengetahui pukul berapa kita terbiasa belanja, hari apa, bahkan mood kita seperti apa berdasarkan kecepatan scroll dan durasi lihat produk. Teknik yang ini disebut Time Series Analysis, yaitu analisis data berdasarkan waktu. Misalnya, data menunjukkan mahasiswa biasanya belanja paling boros pada tanggal muda alias setelah terima uang bulanan dari orang tua maupun pendapatan pribadi, atau sewaktu weekend malam ketika scrolling saat freetime. Nah, algoritma akan menyerang kita tepat di waktu-waktu ini dengan notifikasi diskon yang menggiurkan.Â
Ada juga teknik Sentiment Analysis yang dapat membaca emosi kita dari komentar di media sosial. Jika kita mengunggah foto stress atau sedih, bisa jadi kita akan mendapat iklan produk comfort shopping seperti makanan atau skincare.
Sekarang, kenapa kita bisa kompulsif? Ini karena algoritma tidak cuma merekomendasikan produk, tapi juga dirancang untuk memicu dopamine di otak kita. Dopamine merupakan hormon yang membuat kita merasa senang dan ingin terus melakukan aktivitas yang sama. Cara kerjanya dengan memberikan reward yang tidak bisa diprediksi, mirip seperti mesin judi. Terkadang kita dapat cashback besar, voucher gratis ongkir, maupun poin, atau bahkan tidak dapat apa-apa. Dan ini terbukti paling efektif membuat orang kompulsif. Ditambah lagi dengan teknik FOMO (Fear of Missing Out) seperti "Stok tinggal 3!", "1000 orang lagi lihat produk ini!" atau countdown timer yang membuat kita merasa harus cepat-cepat beli sebelum kehabisan!
Platform belanja online juga punya trik psikologis yang disebut Social Proof. Mereka tampilkan review positif, jumlah pembeli, dan rating tinggi untuk membuat kita percaya bahwa produk tersebut bagus karena orang lain juga membelinya. Dari segi sains data, mereka juga bisa menggunakan Graph Analysis untuk memetakan network pertemanan kita dan mengidentifikasi produk apa yang dibeli oleh orang-orang dalam circle kita. Teknik A/B Testing juga digunakan untuk menguji versi mana yang paling efektif. Misalnya, mereka coba dua versi halaman, satu dengan tulisan "Diskon 50%" dan satu lagi "Hemat Rp 100.000". Dari data klik, mereka dapat mengetahui mana yang lebih cepat membuat kita tertarik untuk membeli.
Lalu, bagaimana cara kita "melawan" jebakan algoritma ini supaya tidak kompulsif saat belanja?
Pertama, kita harus sadar bahwa setiap klik dan scroll adalah data yang dipelajari sistem. Jika ingin mengacaukan jebakan algoritma, kita bisa sengaja browsing produk random yang tidak kita minati.