Sore yang ceria, Andhika bersama teman-temannya sedang mabar (main bareng) di rumah Naufal. Mereka bertiga (Naufal, Rusdian dan Andhika) memang akrab sejak SMP. Naufal dan Andhika sudah punya pacar sedangkan Rusdian masih saja menikmati keseruan menjomlo (hehe...)Â
Di tengah satu sesi Mobile Legend yang mereka mainkan online, tiba-tiba smartphone Andhika berdering.Â
Benar saja pacar Andhika bernama Fala menelepon dan bertanya, "Kamu di mana?"Â
Dengan nada halus Andhika menjawab, "Aku lagi dirumah naufal sayang, mabar nih".
"Anterin sekarang beli mie ayam favoritku", pinta Fala.Â
"Sebentar sayang, aku baru aja nyampe, ini masih sama temen-temen," jawab Andhika.Â
"Kamu tuh ya, mesti gak pernah ngertiin aku, kamu lebih pilih mereka atau aku?", nada ketus Fala mulai keluar.Â
"Setengah jam lagi deh, tanggung nih,"Andhika mencoba bernegosiasi.Â
"Kamu jemput aku sekarang atau kita putus!!!", ancam Fala kepada Andhika.
Seketika itu juga Andhika menghentikan kebersamaan dengan para sahabatnya dan berangkat ke rumah Fala.Â
Kejadian serupa tidak sekali ini saja dialami oleh Andhika. Setiap hari dia harus menuruti semua yang diminta Fala seperti antar jemput sekolah hingga hal-hal negatif misalnya bolos lalu jalan-jalan ke mal.
Jika ada di antara kamu yang mengalami kejadian serupa, oke fix kamu adalah "bucin" (hihi...).Â
Dalam kamus gaul, "bucin" adalah singkatan dari "Budak Cinta". Oh wow... ungkapan yang sangat mak jleb apalagi buat kalian para pria.
Memang selama kita sekolah dari SD hingga kuliah tidak pernah diajari bagaimana cara menjalin hubungan yang sehat.
Alih-alih soal relationship, kita lebih banyak dicekoki pelajaran seperti matematika, kimia, biologi, bahasa, sejarah hingga fisika. Tidak ada pelajaran khusus tentang kehidupan sosial dan interaksi antarmanusia.
Kondisi itu diperparah dengan minimnya pendidikan seksualitas dari orangtua dan keluarga yang sebagian besar menganggapnya tabu untuk dibicarakan. Limitasi ini membuat kita belajar relationship secara autodidak dengan skill seadanya dan sumber sekenanya.Â
Biasanya kita dapat referensi hanya dari film, buku, majalah dan internet yang seringkali nggak jelas sumbernya dari mana. Atau bisa juga dari teman yang mungkin wawasannya kurang cukup untuk memberikan nasihat.Â
Kita lebih banyak disuguhi kisah-kisah romansa yang terlihat sempurna dengan kecenderungan "mengobjektifkan" pasangan selayaknya barang.
Kultur kita tentang cinta tidak melihat pasangan sebagai support emosional yang setara melainkan seperti aset dengan rasa kepemilikan seutuhnya.Â
Ini yang menjadi cikal bakal hubungan kamu tidak sehat. Ingat yaa... pasangan kamu itu manusia bukan barang yang bisa diperjual belikan jadi prinsipnya nggak bisa dimiliki. Itulah pondasi mindset utama dalam sebuah hubungan.
Salah satu masalah yang saat ini sering dihadapi oleh banyak pasangan adalah toxic relationship. Istilah itu muncul jika kamu mengalami suatu kondisi di mana hubungan yang kamu bangun bersama pasangan bukannya membawa kebahagiaan, tetapi justru perasaan negatif, sedih, terjebak dan kesal yang mendominasi.Â
Di sisi lain kamu nggak bisa meninggalkan pasangan karena sudah terlanjur sayang, sudah menganggap bahwa pasangan kamu adalah orang yang tepat.
Seberapa pantas pasangan kamu dipertahankan? Seberapa layak hubungan kamu dengannya diteruskan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas yang seharusnya kamu renungkan jika berada dalam situasi toxic relationship.Â
Oke sebelum lebih jauh membahasnya, pertama sangat bijak untuk melakukan analisa apakah hubungan kamu dalam pusaran toxic atau tidak dengan mengenali ciri-cirinya sebagai berikut :
1. Hilangnya kenyamanan
Jika kamu dan pasangan sudah tidak lagi saling mendukung satu sama lain yang ditandai dengan perilaku salah satu atau keduanya mau menang sendiri, atau suka mengalah tapi batin tertekan hingga merasa tidak lagi nyaman karena terkekang, maka fix hubungan kamu sedang tidak sehat.Â
Kenyamanan adalah hal yang diidamkan oleh semua pasangan, namun sayang banyak juga yang belum mampu mengintepretasikan dengan baik. Akibatnya hubungan menjadi banyak capek ketimbang senangnya.
Kembali pada kasus "bucin" ala Andhika di atas, kalau kita sama perhatikan maka sebenarnya dia merasa bahwa hidupnya terpenjara oleh Fala. Sama sekali tidak ada kebebasan bahkan hanya untuk bersosial dengan sahabat.Â
Lalu sampai kapan ente mau hidup dengan pasangan seperti itu?
2. Penyelesaian konflik yang buruk
Dalam setiap hubungan baik sehat maupun bermasalah tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya konflik. Namun yang membedakan adalah konflik dalam hubungan sehat biasanya mempunyai jalur penyelesaian yang relatif aman dan solutif. Sedangkan konflik dalam sebuah hubungan toxic cenderung buruk bahkan menyakiti misalnya perilaku abusive (verbal dan/atau fisik), silent treatment (mendiamkan pasangan), atau bisa juga sikap posesif (overprotective) yang mengatasnamakan cinta.
Well... sekali mas dan mbak, pasanganmu bukan mobil yang ada BPKB nya terus bisa dijual dan dimiliki. Posisikan dia selayaknya manusia yang pada dasarnya memiliki kebebasan berpikir, berkehendak dan berperilaku.
3. Intuisi atau perasaan sebenarnya sudah merasa tidak cocok
Untuk ciri yang satu ini kamu bisa gunakan metode self talk. Tanya sama dirimu sendiri, dari dalam hati dan nurani apakah iya kamu masih mau lanjutkan hubungan dengan orang yang notabene membuat kehidupanmu terkekang, tekanan batin dan terpenjara?
Apabila kamu merasakan bahwa sudah tidak cocok sama pasangan tetapi sulit untuk melepaskan karena berbagai macam alasan, di sinilah letak ciri toxic itu mulai menguasai hidup kamu.
Apa yang menjadi penyebab toxic relationship?
Nah setelah kamu tahu ciri-ciri toxic, kini saatnya kamu juga perlu memahami apa sih yang jadi penyebabnya. Dengan tujuan kamu bisa melakukan upaya-upaya keluar atau pencegahan yang akan kita bahas di bagian terakhir nanti. Di bawah ini adalah penyebab toxic:
1. Investasi emosi
Semua bentuk pemenuhan atas permintaan pasangan kamu itu disebut dengan investasi emosi. Kalau kamu sering memenuhi permintaan pasangan bahkan untuk sesuatu yang sangat receh misalnya membawakan tas atau dompet, maka investasi emosi kamu kepada pasangan juga makin besar.Â
Investasi emosi tidak diukur dari seberapa besar yang dilakukan melainkan seberapa sering kamu melakukannya (memenuhi permintaan atau menuruti instruksi). Inilah yang menjadi penyebab utama toxic relationship.
Keterikatan emosi kamu semakin hari semakin kuat dan dalam. Sehingga yang terjadi adalah akal sehat kamu semakin melemah karena terlanjur larut dengan perasaan (emosi).Â
Makanya pria-pria yang "bucin" seringkali diejek teman-teman karena menjadi ojek gratis wanitanya (haha...). Dan lebih parah lagi meskipun sudah dikasih nasihat berkali-kali tetap saja pilih membucin.
2. Disfungsi karakter
Di dalam sebuah hubungan yang sehat dan ideal, sang pria adalah pemimpin (imam) sedangkan sang wanita adalah pengikut (makmum).Â
Coba saja kamu perhatikan tata cara ibadah salat umat Muslim, apakah pernah kamu saksikan seorang wanita menjadi imam bagi pria? Jawabannya tentu saja tidak.
Nah konsep inilah yang seharusnya juga diaplikasikan dalam urusan relationship. Mengapa?Â
Simpel-nya gini, seorang wanita itu cenderung lebih mengutamakan emosi dan perasaan yang skalanya sangat fluktuatif. Ketidakstabilan emosi wanita ini yang menjadi alasan kuat kenapa dia tidak bisa dijadikan pemimpin hubungan.
Bayangkan untuk menjadi seorang pemimpin tentu saja sebagai pengambil keputusan dan menggerakkan anggotanya menuju pada arah yang dikomitmenkan bersama.
Fungsi ini yang seharusnya ada dalam diri seorang pria. Karena pria lebih mengedepankan rasionalitas dengan fluktuasi emosi yang kebanyakan jauh lebih stabil dibandingkan wanita. Sehingga dalam keadaan genting pun sang pria sanggup mengambil keputusan.
Masalahnya adalah kalau hubungan itu didominasi peranan seorang wanita, maka di sini terjadi yang saya sebut sebagai disfungsi karakter.Â
Jadikan wanita penguasa, maka kelar hidup kamu bro (hehe...) Oleh karena itu bagaimana pun juga seorang pria wajib mengambil tugas kepemimpinan dalam sebuah hubungan.Â
Bagian terkahir ini, saya akan bagikan beberapa tips buat kamu yang lagi "bucin" atau dalam keadaan toxic relationship:
1. Kenali siapa pasangan kamu
Hohoho... ini penting sekali dan wajib dilakukan sebelum kamu memutuskan berkomitmen dengannya. Karena dari hasil analisa terhadap pasangan, akan tahu seberapa cocoknya kamu dengan dia.Â
Perhatikan kebiasaannya, apa kesukaannya, apa kelebihan dan kekurangannya. Lalu setelah itu tanyakan ke diri sendiri apakah sanggup untuk menerima semua kelemahan dan kekurangan yang dia miliki.
Di fase ini sangat diperlukan kejujuran diri sendiri. Kalau kamu merasa nggak cocok atau nggak kuat menerima konsekuensi atas kelemahan pasangan, maka sebaiknya batalkan niat kamu berkomitmen dengannya.Â
Sebaliknya kamu juga harus analisa apakah dia sanggup memberikan toleransi atas kekurangan dan kelemahan yang kamu miliki. Jika tidak bisa, maka mencari pasangan lain adalah pilihan yang sangat dewasa.
2. Membangun komunikasi yang baik
Poin pertama diatas adalah upaya preventif artinya pra hubungan. Di poin kedua ini adalah tips yang bisa kamu lakukan kalau saat ini sedang dalam kondisi toxic relationship, yakni dengan membangun pola komunikasi bersama pasangan dengan prinsip kesetaraan.Â
Dalam setiap hubungan pasti terjadi perbedaan pendapat, hal tersebut sangat wajar. Tetapi bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat inilah yang menjadi faktor pembeda antara pasangan sehat dengan pasangan toxic.
Salah satu pola komunikasi yang baik adalah komunikasi asertif. Sampaikan dengan sejujurnya apa yang kamu rasakan kepada pasangan.Â
Berhenti untuk takut, karena sekali lagi komunikasi adalah bagian terpenting untuk mengatasi toxic relationship. Sebaliknya kamu juga harus mau mendengarkan dan menerima segala keluhan pasangan.

Pertanyaan besarnya di poin ini ialah "Apakah toxic relationship bisa dipertahankan dan pantas diperjuangkan?"Â Jawabannya sudah pasti beragam tergantung dari seberapa besar investasi emosi kamu.Â
Tapi intinya begini, semua orang berhak bahagia bukan? termasuk diri kamu sendiri. Kalau hubungan toxic ini membuat hidup kamu berarti dan bahagia, maka silahkan saja asal berhenti mengeluh kemudian jalani dengan senang hati. Tapi jikalau kamu merasakan tidak bahagia, ada dua cara.Â
Pertama berikan waktu dia untuk berubah sesuai dengan kemauanmu. Syaratnya adalah kamu melakukan yang disebut dengan radikal honesty.Â
Kamu harus berani berbicara sesuai keinginan dan tidak lagi menyerahkan hidup kepada dia. Berani menyampaikan pendapat apapun juga termasuk pendapat yang bersifat keluhan tetapi membangun. Berani untuk menolak jika permintaannya tidak masuk akal atau kamu tidak mau melakukannya.Â
Dengan begitu kamu sama halnya menghargai diri sendiri. Selanjutnya buat timeline atau batasan misal seminggu, sebulan atau setahun. Dan jika perubahan itu tidak ada, kamu bisa pakai cara kedua yang saya sebut dengan radikal move on.
Boys and girls, dunia ini tak sesempit yang kalian bayangkan. Memang meninggalkan itu tidak mudah, melupakan itu sulit. Makanya saya pakai istilah move on yang artinya adalah melanjutkan hidup.
Kebahagiaan diri kita adalah tanggung jawab kita sendiri tanpa campur tangan orang lain. Melanjutkan hidup untuk sesuatu yang lebih baik sebenarnya adalah anjuran seperti halnya pengertian hijrah.Â
Toxic relationship dan/atau "bucin" adalah kondisi yang buruk dan wajib secepatnya kita tinggalkan. Sekali lagi bukan untuk melupakan hanya melanjutkan hidup.
Dalam beberapa literatur saya pernah membaca bahwa bahaya toxic relationship bahkan bisa membuat orang menjadi stres, frustasi hingga depresi.Â
Jadi yuk bagi kamu yang sekarang sadar setelah membaca tulisan ini mulai berubah ya. Hidup cuma sekali, maka buatlah berarti. Cinta itu boleh tapi harus sehat dan bahagia.
"Cinta itu bukan PERJUANGAN melainkan berasal dari KECOCOKAN jiwa"Â The Architect
-AP-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI