Mohon tunggu...
Thanti Octavianti
Thanti Octavianti Mohon Tunggu... Ilmuwan - Postdoctoral research in cities, water and resilience at the University of the West of England, UK. Did her DPhil (doctoral) in geography and the environment at the University of Oxford on the politics of water security in Jakarta.

Postdoctoral research in cities, water and resilience at the University of the West of England, UK. Did her DPhil (doctoral) in geography and the environment at the University of Oxford on the politics of water security in Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir Jakarta, Salah Siapa?

3 Januari 2020   21:41 Diperbarui: 3 Januari 2020   21:48 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di Jalan Kerinci, Pasar Baru, Jakarta Pusat (02/01/2020) ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj

Di awal tahun 2020, warga ibukota ditimpa musibah banjir yang menurut banyak kalangan merupakan salah satu banjir terbesar setelah tahun 2013.

Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), per 2 Januari 2020 jumlah korban meninggal mencapai 30 orang, 16 diantaranya meninggal karena terseret arus banjir. Belum lagi, 45.000 warga yang harus mengungsi karena rumahnya terendam air.

Satu hal menarik tentang diskursus di media pada banjir kali ini adalah perbedaan pendapat antar tokoh penting negeri ini. Presiden Joko Widodo berpendapat belum rampungnya upaya infrastruktural terutama pembangunan waduk Cimahi dan Ciawi menjadi penyebab banjir Jakarta, termasuk kebiasaan warga membuang sampah ke sungai.

Sedangkan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono berpendapat belum selesainya normalisasi sungai Ciliwung sebagai penyebab utama banjir. Saat ini baru 16 km dari 33 km panjang sungai Ciliwung yang baru selesai dinormalisasi.

Lain halnya dengan Gubernur Anies Baswedan yang melihat pembangunan di hulu Jakarta (daerah Puncak) yang berkontribusi pada banjir di ibukota.

Tiga jenis banjir
Secara hidrologis, ada tiga jenis banjir di Jakarta: i) banjir limpasan air sungai (riverine flooding), ii) banjir lokal, dan iii) banjir pesisir (coastal flooding).

Banjir tahunan yang terjadi di Jakarta umumnya adalah banjir akibat meluapnya air sungai dikarenakan curah hujan tinggi dalam waktu singkat di daerah hulu.

Tipe banjir ini juga kerap disebut sebagai banjir kiriman. Pemantauan tinggi air di Bendung Katulampa pun menjadi penting dilakukan untuk mengetahui status siaga banjir Jakarta. Contoh jenis banjir ini terjadi pada bulan Februari tahun 2007.

Kedua, banjir lokal terjadi ketika hujan turun di wilayah Jakarta dan air tidak terserap ke tanah, baik karena tanah sudah jenuh air ataupun karena tertutup lapisan impermeable (misal beton).

Limpasan air hujan ini masuk ke sistem drainase dan menjadi banjir lokal ketika saluran dranase tidak lagi dapat menampung air.

Hal ini dapat disebabkan karena volume air yang terlalu besar atau sistem drainase yang tidak tersambung atau tersumbat. Pembenahan sistem drainase dalam kota inilah yang menjadi fokus Pemda Jakarta beberapa tahun belakangan ini. Banjir jenis ini terjadi pata bulan Januari tahun 2013.

Terakhir, banjir pesisir diakibatkan oleh naiknya air laut akibat pasang yang diperparah dengan penurunan muka tanah di beberapa area di utara Jakarta, seperti banjir yang terjadi di bulan November tahun 2007. Banjir jenis ini diprediksi makin parah jika penurunan muka tanah yang sifatnya irreversible tidak kunjung melambat.

Dengan prinsip normalisasi sungai, di mana air limpasan dari hulu dibawa secepat mungkin ke hilir melalui pembetonan bantaran sungai, daerah utara Jakarta, khususnya Pluit, semakin rentan mengalami banjir non-pasang. Jakarta bergantung pada pompa untuk "membuang" kelebihan air ke laut. Tanpa operasional pompa yang optimal di hilir, air kiriman dari pusat kota yang tidak secara cepat dipompa ke laut dapat menggenangi daerah ini.

Curah hujan tinggi
Hujan merupakan peristiwa stokastik, yang kejadiannya tidak dapat diprediksi secara pasti dan cenderung bersifat acak. Walaupun prediksi curah hujan dapat dimodelkan dengan data historis, unsur ketidakpastian (uncertainties) akan tetap ada.

Berdasarkan data BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), curah hujan yang tinggi baik di daerah hulu dan kota Jakarta menyebabkan banjir awal tahun 2020 ini.

Curah hujan di Bandara Halim, misalnya, yang tercatat mencapai 377 mm per hari, bahkan lebih tinggi dibanding curah hujan ketika banjir tahun 2007 (340 mm). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa banjir kali ini merupakan kombinasi dari banjir "kiriman" dan banjir lokal.

Dengan mengenal berbagai jenis banjir dan peristiwa hidrologis dibaliknya, maka dapat kita pahami bahwa banjir Jakarta bukanlah salah dari satu rezim pemerintahan bahkan salah perseorangan.

Pendapat Gubernur Anies tentang pembangunan di daerah hulu, berkaitan dengan pentingnya membangun "tempat parkir air" sebelum masuk Jakarta, seperti diutarakan Presiden Jokowi.

Sedangkan pendapat Menteri Basuki perihal normalisasi di dalam kota Jakarta juga harus dihubungkan dengan manajemen air di hulu dan hilir kota. Penanganan banjir butuh pendekatan holistik, karena air mengalir dari hulu ke hilir, dari Puncak ke Pluit.

Memahami banjir Jakarta bukanlah rocket science, namun perkara penanganan banjir kompleks karena tidak mudah menentukan penyebab per kejadian banjir serta pengaruh dari dan dampak kepada warga di siklus hidro-sosial ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun