Mohon tunggu...
Thania Astavarie
Thania Astavarie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Jurnalistik yang sedang mengasah kemampuan menulisnya.

Lets smile and make people confused.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nelayan Marunda Dalam Pusara Pandemi

16 Juli 2021   12:39 Diperbarui: 16 Juli 2021   13:29 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumiran (56) di atas kapal Alam Senja miliknya. Minggu (11/7). /Dokpri

JAKARTA, 11 Juli 2021 - Nelayan marunda. Kehidupan mata pencaharian mereka semakin terdesak oleh pembangunan yg gencar di pesisir teluk Jakarta. Seperti tak mau henti, musibah lain datang lagi. Kali ini mereka terjebak dalam pusara pandemi.

PPKM Darurat menjadi solusi yang dipilih oleh pemerintah demi menurunkan angka penyebaran virus Covid-19. Peraturan yang ketat ini diharapkan bisa menekan dan menertibkan kerumunan-kerumunan yang berpotensi untuk jadi tempat penyebaran virus. Restoran, warung, pedagang kecil di jalan sampai pekerja kemudian merasakan dampak dari diberlakukannya PPKM ini.

Dikunjungi di Kampung Nelayan Marunda, Jakarta Utara, Tumiran (56) menceritakan perjuangannya bertahan hidup dengan menjadi nelayan. Pria paruh baya yang sedang memperbaiki perahunya itu bercerita bagaimana awalnya ia bisa menjadi nelayan.

"Saya ini perantauan dari Sulawesi sejak 35 tahun lalu, pengin sekali hidup di Jakarta karena banyak mata pencaharian. Namanya rantau, hidup saya tidak terus-terusan mudah. Namun saya juga tidak mau kemana-mana." Ucap Tumiran.

Tumiran mengaku bahwa ia tak mampu sekolah tinggi, maka itu ia memilih menjadi nelayan.

"Saya berhenti sekolah dari sekolah dasar dan memutuskan menjadi nelayan. Kalau di darat saya harus sekolah tinggi, tapi kalau di laut yang penting punya nyali. Hehehe." Ujarnya.

"Ini kapal pribadi saya, punya sendiri ini. Dulunya punya abang saya, karena saya merantau ikut beliau. Begitu dia meninggal, yaudah saya teruskan jadi nelayan." Jelas Tumiran.

"Tuh mbak liat saja, namanya kapal tua ada aja penyakitnya. Perlahan-lahan saya jadi paham mesin kapal begini, karena kalau dibawa ke bengkel gak ada biayanya. Yang penting saya ngerti apa yang harus diperbaiki atau diganti." Ucap pria paruh baya itu.

"Apalagi pandemi begini mbak. Dikeseharian saja saya pas-pasan. Ditambah ada penyakit seperti ini sekarang. Selain itu, hasil menjaring saya juga tidak banyak, karena laut ini ada di sekitar Ibukota. Laut yang menjadi matapencaharian saya sering terkena imbas limbah pabrik. Ikan pada keracunan, tidak bisa dijual apalagi dikonsumsi. Kalau melaut lebih jauh lagi saya juga butuh biaya untuk bensin kapal." Jelasnya.

"Kalau nyelam juga saya pakai alat seadanya, akal-akalan si miskin saja, seperti rantai untuk pemberat biar bisa menyelam, dan alat bantu napas pakai selang seadanya. Hehehe. Yang penting ada tangkapan dan bisa jadi uang." Ungkapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun