Mohon tunggu...
Thamrin Dahlan
Thamrin Dahlan Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Mott Menulis Sharing, connecting on rainbow. Pena Sehat Pena Kawan Pena Saran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suku Baduy Alibi Budaya Indonesia

4 April 2016   15:21 Diperbarui: 4 April 2016   19:06 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: betakidnessa.com"][/caption]Beberapa kali berpapasan dengan suku baduy. Pernah sekali ketika 3 orang baduy berjalan kaki di jalan raya bogor Jakarta Timur.   Mereka berjalan cepat tanpa mengenakan alas kaki.  Berjalan di pinggir jalan terus menatap kedepan.  Terkadang berjalanan beriringan terkadang bersebelahan, sesuai dengan keleluasaan trotoar jalan Jakarta.

Mengenal suku baduy sangat mudah sekali.  Sosok ini selalu mengenakan busana hitam hitam.  Baju hitan dan celana itu potongannya seperti pemain silat.  Ditambah lagi dengan ikat kepala yang juga berwarna gelap. Terlihat buntalan kain disandangkan pada punggung.  Dari jauh saja warga Jakarta sudah bisa menandai mereka adalah suku baduy, karena tidak ada lagi suku di Indonesia yang berjalan kaki tanpa alas menyelusuri  ibukota.

Terniat akan memberikan uang atau minuman mineral kepada saudara setanah air ini.  Namun apa daya ketika itu tidak berhasil karena kendaraan yang di naiki tidak bisa berhenti di lampu hijau..  Hilanglah kesempatan berderma kepada saudara ku. Ya ketika itu kami berlawanan arah.

Di satu saat lain di bunderan Hotel Indonesia pernah pula bersua dengan 2 orang suku baduy.  Nah di kesempatan ini bisa bersalaman sambil memberikan sedikt uang karena saat itu kami sama sama pejalan kaki.  Anggukan pelan tanpa suara sebagai tanda terima kasih kami terima.  Ya sudahlah, silahkan berjalan terus tuan, kami tak akan menganggumu dengan wawancara.

Itulah uniknya suku baduy.  Hidup  dalam alamnya.  Walaupun warga negeri ini sudah demikian maju menggunakan alat komunikasi dan  transportasi, mereka tetap saja tak memerlukan telpon genggam dan tetap  setia berjalan kaki.  Pernah seorang teman menawarkan untuk ikut menumpang dalam kendaraan pribadi , namun dengan santun mereka menolak.

Mungkin itulah sebabnya saudaraku baduy tetap sehat walafiat mengembara di hutan beton kota Jakarta.  Ratusan kilometer mereka tempuh tanpa lelah.  Sampai saat ini kami belum paham apa alasan mereka menelusuri kota jakarta,  apakah gerakan jalan kaki ini sebagai peringatan kepada orang modern untuk mengingat kesejatian hidup. Pesan suku baduy sederhana saja bahwa kaki itu di ciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk sering sering digunakan berjalan kaki. Jangan naik kendaraan melulu.

Negara dalam hal ini Pemerintah tidak bisa memaksa suku baduy menggunakan dan memanfaatkan alat alat modern.  Biarlah mereka dalam kenyamanan, biarlah mereka hidup dalam alamnya jangan di ganggu lagi.  Toch mereka tidak menganggu lingkungan. dan tidak mengganggu tuan dan nyonya.

Justru orang orang modern seperti kita yang harus menyesuaikan diri.  Menyesuaikan diri dalam artian menerima saudara suku baduy apa adanya. Jangan sampai salah kaprah ingin membantu malah membuat suku baduy merasa takut.  Orang modern wajib memamahami alam suku baduy yang memang tidak akan berubah sampai di akhir zaman.

Catatan sejarah Indonesia bahkan sejarah dunia bisa menasbihkan suku baduy sebagai alibi budaya.  Kehadiran suku baduy di tengah pergeseran budaya nasional tidak bisa dielakkan dan merupakan pagar budaya nusantara. Suku Baduy patut di banggakan bersebab mereka tetap tidak akan terjamah atau terpengaruh oleh budaya asing yang  begitu deras menghampiri generasi muda Indonesia.

Pemerintah harus tetap menjaga habitat suku baduy .  Janganlah sok ingin mensejahterakan maka mereka di budayakan versi pemerintah yang belum tentu memberikan rasa tenang kepada suku baduy.  Bukan berarti kita membiarkan mereka berada dalam keterbelakangan,  namun pemerintah bisa berperan dalam bentuk bantuan pemeliharaan kesehatan.  Itu saja sudah cukup.

Soal pendidikan boleh juga di tawarkan namun jangan dipaksakan.  toh mereka sepertinya lebih paham bagaimana berinteraksi dengan alam.

Salamsalaman

TD

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun