Mohon tunggu...
Thamrin Dahlan
Thamrin Dahlan Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Mott Menulis Sharing, connecting on rainbow. Pena Sehat Pena Kawan Pena Saran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[catatan budaya] Harga Tanah Kamahalan, Boss

13 April 2016   19:12 Diperbarui: 13 April 2016   20:19 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 www.kabarpajak.com

Tawar menawar dalam transaksi jual beli adalah hal yang wajar.  Tawar menawar terjadi karena belum di temukan kesesuaian harga.  Penjual ingin mendapatkan keuntungan sebesar besarnya dan tak terbesit sedikitpun keinginan  untuk menurunkaan harga.  Sebaliknya pembeli masih menganggap harga itu tidak wajar [atau istilah ibu ibu rumah tangga : kemahalan] dibandingkan dengan nilai kemanfaatan yang akan diperoleh.

Kemahalan, itulah jenis kosa kata yang sering ditemui pada saat jual beli.  Sang pembeli mau bercape cape berkeliling dari satu toko ke  toko (terutama ibu ibu) untuk memperbandingkan harga.  Selisih lima ratus perak pun jadi acuan untuk mengambil keputusan di toko mana dia akan membeli barang tersebut. Inilah kenyataan, lain hal nya dengan para kaum pria yang menganggap tawar menawar itu hal merepotkan bin membosankan, selisih harga tidak menjadi halangan untuk membeli satu komuditas

Bagaimana pula dengan kualitas barang dagangan. Terkadang pada jenis barang yang sama terdapat perbedaan bermakna dari sisi kualitas.  Oleh karena itu maka muncul istilah baru di kalangan perdagangan yaitu  KW dibaca kawe. . KW adalah singatan dari kualitas.  Jadi ada KW 1, KW 2 dan seterusnya sampai KW 5.  Urutan KW itu tentu berbanding lurus dengan harga.  Semakin kecil nomer  KW maka semakin mahal harga barang tersebut sebaliknya semakin tinggi KW maka semakin rendah harga komoditas yang ditawarkan.

Oleh karena itu perlu ke hati hatian dari pihak pembeli agar jangan sampai salah pilih atau kata kasarnya tertipu. Bukan menafikkan penjual yang nakal namun itulah dunia perniagaan dimana kelompok syetan selalu banyak berkeliaran di pasar. Bukankah kata para Nabi bahwa syetan penggoda itu memang suka bermukim dan berkerumun di keramaian terutama di pasar pasar, baik pasar tradisionel maupun pasar modern.

Padahal dalam transaksi terdapat satu nilai keberkahan.  Keberkahan itu terletak pada kejujuran.  Kejujuran adalah contoh sikap yang melekat pada diri pribadi Para Nabi dalam berniaga.  Apabila barang bagus dikatakan bagus, apabila barang rusak atau cacat maka pada Aulia itu terus terang mengatakan bahwa barang dagangannya memang tidak begitu bagus.  Inilah nilai nilai yang seharusnya di budayakan oleh para saudagar, karena keberkahan itu akan menghadirkan kebahagiaan dan keselamatan dunia akherat.

Dari sisi sang pembeli tentu saja mereka ngotot ingin mendapatkan harga murah namun lucunya lagi ingin memperoleh barang dengan kualitas nomor satu.  Tentu saja hal ini mustahil terjadi, karena ada rumus niaga  yang mentasbihkan bahwa tidak ada barang bagus yang harganya murah. Begitu.  Jadi kalau pun ada barang bagus di  jual murah maka ada 2 kemungkinan.  Pertama barang itu illegal atau barang soumuokil (seludupan) atau barang tadahan dari hasil pencurian.

Kembali ke pokok permasalahan soal Kemahalan. Ambil contoh tentang harga sebidang tanah. Pihak pemilik tanah yang syah [dalam ukuran ada sertifikat resmi dari negara] berkeinginan menjual tanah dengan harga setinggi tinginya. Namun pemerintah nampaknya kini sudah mulai  pintar.  Kini ada istilah NJOP (nilai jual objek pajak). Artinya pemerintah menetapkan patokan harga pada satu kawasan.  Penetapan NJOP itu tentu berdasarkan nilai strategis letak tanah.  Tanah di daerah elit tentu lebih mahal dibanding dengan harga 1 meter tanah di pegunungan pedalaman.

Nah berdasarkan NJOP ituah sebidang tanah dikenakan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Pajak tanah wajib setiap tahun dibayar ke pemerintah dengan ketentuan yang dipakai adalah  harga NJOP tahun berjalan.  Tahu sendirilah  harga NJOP itu selalu dan selalu disesuaikan (di naik kan) pemerintah setiap tahun yang katanya untuk membangun sarana dan prasarana pemukiman (katanya lagi).

Tidak jadi masalah apabila transaksi jual tanah terjadi antara pribadi warga dengan pribadi warga.Tidak akan ada kosa kata kemahalan atau kemurahan.  Harga jadi merupakan kesesuaian antar para pihak.  Bisa jadi si penjual kepepet perlu dana maka dia ingin melepas tanahnya secepatnya sehingga harga bisa jadi di bawah NJOP.  Atau si pembeli ngebet banget dengan letak tanah yang sangat strategis , sehingga harga NJOP tidak menjadi acuan.  Berapapun harga dia bayar untuk sebidang tanah idaman. No problem karena itu memang duit duitnya sendiri bukan hasil korupsi ( diiringi doa, semoga)

Kesesuaian harga tanah dengan berpatokan NJOP sangat menarik dibahas apalagi apabila tanah itu akan di beli oleh Pemerintah Daerah guna kepentingan membangun fasilitas publik.   Mulailah transaksi berjalan antar penjual dan pembeli.  Entah ada calo tanah atau tidak,  bisa jadi harga tanah itu per- meter menjadi lebih tinggi dari NJOP.  Entahlah, mungkin saja disini bermain pihak pihak yang mencari keuntungan dari transaksi jual beli tanah tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun