Malam kepiluan di Jam Gadang
Catatan Thamrin Dahlan
Tak sengaja atau memang ditakdirkan akan menyaksikan kesenian Minangkabau, malam itu 20 Desember 2019 awak bersama keluarga besar kaum Petokayo  tiba di Kota Bukit Tinggi.  Selesai makan si salah satu kedai, lamat lamat dari jauh terdengar suara nyanyian.  Itu suara Rabab Mak Etek kecek kemenakanda.
Segera saja bersama Darussalam kami melepaskan diri dari rombongan besar. Â Menyeruak diantara banyaknya pengunjung wisata Jam Gadang. Â Area wisata kebanggaan orang minang kabau ini memang menjadi pilihan utama bersebab adanya tugu tinggi bernama Jam Gadang. Beberapa keluarga asyiek memperhatikan air mancur bernayanyi atau tepatnya bergejolak naik turun berirama.
Bukit Tinggi kota gadang terutama dikawasan ini ramai sekali. Sementara itu pengunjung lain terdiri dari muda mudi menjalin kasih dihari libur panjang enjelang akhir tahun. Â Anak anak berlari lari ditengah para penjual makanan seperti berebut perhatian. Â Lampu cukup terang, Â hari belum begitu malam semua pengunjung menikmati suasana keindahan tugu gadang.
Kami tiba didepan 3 orang sedang bermusik. Â Seorang Bapak memngunakan alat musik rabab mengesek gesek senar seperti biola. Â Dia menyanyi dalam alunan sedih, Seoorang ibu berbusana adat membentur benturkan rebana dalam irama cepat dan anak remaja memukul gendang berkecapi. Â Lagu dinyanyikan dalam bahasa minang logat kental, tidak bisa langsung mengerti bila tidak kosentrasi medengar lirik nyanyian .
Beberapa penonton mendekati pemain rabab. Â Didepan terlihat kotak belas kasih. Â Itulah apresiasi penonton penikmat kesenian tradisonal mendengarkan suar mendayu dayu. Air mata ini meleleh menyaksikan satu keluarga melanggamkan bait kesedihan. Seorang ayah merintih sembari memainkan alat rabab sementara istrinya mengoyang goyangkan. rebama sembari menggeleng gelengkan kepala. Â
Irama kepiluan itu semakin merambah ketika tepukan gendang sang anak mengikuti irama perasaian sang ayah. Jam Gadang Bukittinggi menjadi saksi bisu betapa kesenian tradisional Mimangkabau lambat laun kan sirna.Kami hanya bisa menonton tak pnya pula kewenangan melestarikan musik ini apabila pemerintah berkuasa tidak memberi perhatian.Â