Cerita Minggu Pagi 96
Lina menekuk wajahnya hingga lehernya bengkok. Sulit untuk melihat matanya yang indah mirip kelereng bening.
"Kenapa, sih Yang?"
Tak ada sahutan yang biasanya bening terdengar di telinga.
"Laper, ya?"
Terdengan tarikan nafas di hidung.
Aku garuk-garuk kepala. Salah pertanyaannya.
"Hm, pasti ...."
"Apa?" sahutnya cepat sambil memperdengarkan dengus hidungnya. Seperti menahan tangis.
"Ya, biasalah."
"Biasa apa?" kejarnya.
Nah!
"Kaubaca WAku, kan?"
Lian diam.
"Kok tau, gitu dong kamu tanya?"
Masih membeku suaranya.
"Kalau ya, tanyamu mestinya?"
Hidungnya tersedak.
"Cemburu, kalau sedikit itu bagus."
Masih membisu.
"Kalau banyak, itu bukan lagi cinta. "
"Apa?"
"Penyakit."
Ia menengadahkan kepala. Tak menoleh ke arahku.
Aku tertawa kecil.
"Kalau sedang-sedang saja, itu baru pas. Ada cinta. Ada ...."
Lina menoleh dengan tatapan nara. Langsung seperti naga. Menyeburkan aura tak sedap.
"Kamu sih!" sengatnya.
Aku mengkeret. Sejak kapa ia menyebutku menjadi kamu kepadaku?
"Ya, aku kenapa?"
"Matanya suka belanja ...!"
"Di mal, gitu?"
"Ya. Di pasar tradisional juga."
"Misalnya?"
"Di Pengalengan. Waktu kita ada hajatan, dan kondangan ke sana. Ke Teh Endah."
Hafal dalam soal seperti ini. Dan kemudian ia melanjutkan. Jika aku juga belanja mata di mini market atawa di pasar ikan.
"Hm, Pengalengan."
"Iya. Kamu tertarik sama penjual kol ...."
Plak! Aku menempeleng jidat. Kamu lagi. Ditambah kol kali ini.
"Okey. Terus gimana?"
"Gimana apanya?" Lina mengejar cepat.
"Mmmm ...."
"Cepet?"
"Kalau kita ...!"
"Kalau kamu maunya pisah, oke. "
Plak! Aku menempeleng jidatku lagi. Kali ini terjengkang.
"Huh!" sentak Lina. Menghentakkan kakinya ke bumi.
Bumi terasa runtuh. Aku hanya bisa memandangi Lina berjalan gontai. Ke raha matahari terbenanm. ***
AP/ 14/7/19