Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Pilihan Kita

22 September 2012   04:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Syahdan, bahasa menunjukkan bangsa. Aha, apa iya? Setidaknya pemerintah waktu itu gencar dengan imbauan: gu nakan bahasa yang baik dan benar. Tujuannya agar bangsa ini menjadi santun dalam berbahasa untuk bisa menunjukkan bangsa macam apa kita. Maka di koran-koran, di televisi dan di ruang-ruang kelas pun diminta untuk mentaatinya. Bagi siapa? Bagaimana hasilnya?

Serenteng pertanyaan itu kini membusuk. Coba saja kita amati di ruang-ruang publik, dialog dominan keseharian kehidupan kita,dan di era digital ini membuncahlah kosa kata (baru): aneh, lucu dan bisa bak pembebasan dari makna. Mirip kredonya Presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri di awal tahun tujuh puluhan.

Kita urai dari ruang publik, yang diwakili dengan bahasa iklan. Di sana bermunculan kata dan rangkaian kalimat bijak, apakah kata-kata mutiara, peribahasa dan sejenisnyayang diplesetkan. Sehingga bayang-bayang antara bahasa pilihan dalam serangkaian kata menjadi menarik, sekaligus membuat kita nyengir. Bahasa iklan, jelas, bahasa yang mesti memikat. Bila itu berbentuk teks, memikat mata dengan dibantu desain, termasuk tipografinya. Sedangkan jika dilisankan, mestilah yang enak didengar, memikat dan lucu kalau perlu.

Sedangkan bahasa dialog di dalam sinema, terutama sinema elektronik (sinetron), akan kita jumpai budaya longgar berbahasa. Lontaran dialek Betawi yang dominan bak menjadi budaya lisan semua tokohnya. Sehingga penghormatan antara tokoh satu dengan yang lain tidak lagi perlu, tak ada hierarki dan sopan-santun dalam kehidupan nyata era sebelum sinetron begitu menggelontor sekarang ini. Penulis skenario pun mengikuti selera tokoh yang semula diciptakannya. Bisa longgar dan liar. Khas bahasa gaul yang sedang berkembang.

Kemudian bahasa teks dalam pemakaian pesan singkat bernama SMS – short message system. Akan dijumpai kosa kata yangnyeleneh dan baru, untuk tidak menyebut bahasa yang seenaknya. Kenapa? Karena dimulai dari kemalasan penggunanya menuliskan secara lengkap, benar dan baku. Maka yang terjadi adalah bahasa, tepatnya penggunaan kosa kata yang tidak lengkap, singkatan dan tidak memperhatikan tanda baca. Mungkin bisa disebut menjadi kalimat yang tidak utuh. Yang terpenting bisa dimengerti oleh yang menerimanya. Tentu saja, dimengerti oleh mereka. Meski amat boleh jadi, di sela-sela pertanyaan atau permintaan penjelasan ulang bila ada kosa kata “baru” yang belum dipahami dan disepakatinya.

Inilah bahasa Indonesia di usianya yang kedelapan puluh empat sekarang ini. Bahasa yang tak bisa lagi disimpulkan baik dan benar. Bahasa keseharian yang hidup di era yang bergegas, pejal dan bisa jadi liar.Meski boleh jadi pula inilah arti bahasa yang berkembang secara kreatif. Atau dinamis. Setidaknya bisa memperkaya kosa kata dan lema dalam kamus yang bisa makin menebalkan halamannya.

Menyikapi apa yang berkembang dalam bahasa kita menjadi beragam. Bahasa yang tidak “satu” pengertian, baku dan kaku. Bahasa pilihan oleh mereka, mirip pilihan kata oleh penyair dalam menggubah kalimat dalam menulis syairnya. Meski antara pengguna bahasa masyarakat dan penyair yang dalam mencipta karya, jelas berbeda pengertiannya. Yang satu menggampangkan, yang lainnya mempertimbangkan dengan cermat. Yang satu berantakan, yang lain indah dinikmati. Apa boleh buat. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun