Pemikiran Machiavelli, dengan seluruh daya tarik dan kontroversinya, menghadirkan dilema tersendiri dalam konteks Indonesia. Di satu sisi, ia menyadarkan kita bahwa kekuasaan tidak selalu hadir dalam balutan etika; di sisi lain, bila diterapkan secara mentah, pemikirannya bisa menjadi justifikasi bagi penindasan.
Dalam sistem demokrasi yang masih bertumbuh seperti Indonesia, adopsi prinsip-prinsip Machiavellian tanpa kendali etis justru berisiko memperkuat kultur kekuasaan yang otoriter. Kita melihat ini dalam cara elite politik memainkan opini publik, menggunakan hukum secara selektif, atau membangun citra pemimpin kuat di tengah ketimpangan struktural.
Namun demikian, realisme Machiavelli juga berguna untuk mengimbangi idealisme naif. Ia menjadi pengingat bahwa pemimpin tidak cukup hanya bermodal niat baik, tetapi juga harus mampu membaca realitas politik, mengelola konflik, dan mempertahankan stabilitas tanpa kehilangan legitimasi.
Kritik penting terhadap Machiavelli adalah absennya perhatian terhadap akuntabilitas publik. Dalam dunia modern, kekuasaan bukan lagi milik pangeran atau raja, tetapi berada dalam relasi antara rakyat dan negara. Oleh karena itu, penerapan pemikiran Machiavelli harus disaring melalui mekanisme demokrasi, transparansi, dan partisipasi publik.
Dalam konteks ini, Il Principe bukan ditolak, tetapi dikaji ulang. Ia bukan panutan, tetapi bahan diskusi kritis agar rakyat memahami logika kekuasaan dan tidak terjebak dalam pesona politik yang manipulatif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI