Mohon tunggu...
Teuku Azhar Ibrahim
Teuku Azhar Ibrahim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Program Manager FDP

Lahir di Sigli Aceh, Menyelesaikan study bidang Filsafat di Univ. Al Azhar Cairo. Sempat Menetap Di Melbourne dan berkunjung ke beberapa negara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Tukang dalam Menentukan Calon Legislatif

5 Maret 2024   07:28 Diperbarui: 5 Maret 2024   07:28 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun pada saat itu semua kekuatan organisasi politik telah sepakat untuk berazaskan Pancasila, dan melepaskan diri dari cita-cita ideologis. Partai- Partai yang punya latar Islam memutar haluan kepada kepentingan kekuasaan dari pada mempertahankan ideologisnya, barangkali hanya PKS yang masih bertahan pada prinsip ideoligis Keislaman.  Dalam beberapa hasil penelitian menunjukan adanya variasi pilihan diantara masing-masing agama. Responden yang Islam cenderung memilih Partai Persatuan Pembangunan ketimbang memilih Golongan Karya [Golkar] dan Partai Demokrasi Indonesia. Sementara responden non Islam tak satupun memilih Partai Persatuan Pembangunan, tetapi lebih dominant memilih Partai Demokrasi Indonesia dan sebagian  memilih Golkar.

Hal ini menunjukan pola aliran keagamaan masih cukup berpengaruh pada seseorang dalam menentukan pilihannya. Kajian ini lebih mengarah pada pendekatan sosiologis. Penelitian Pomper pada pemilu 1946, 1964, dan 1972,  menghasilkan kesimpulan yang mirip dengan catatan Kanvanagh tentang perilaku pemilih di Inggris. Pertama, hubungan antara perubahan sosial-ekonomi dengan pilihan pemilih semakin melemah dari pemilu ke pemilu, dan sampai tingkat yang rendah pada tahun 1972. faktor-faktor demografis ketika dihubungkan dengan pilihan pemilih juga mengalami hal yang sama. Kedua, posisi isu-isu politik dalam menentukan perilaku politik meningkat secara tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap pilihan pemilih maupun secara tidak langsung melalui penilaian calon kandidat. Ketiga, terjadi penurunan pengaruh identifikasi partai terhadap pilihan pemilih secara terus menerus mulai dari pemilu 1956, 1964, dan puncaknya pemilu 1972.

Dalam studi tentang perilaku pemilih pada pemilu 1999, Liddle dan Mujani,[1] menemukan dua kesimpulan penting dalam memahami perilaku pemilih yaitu semakin memudarnya politik aliran di tingkat massa pemilih. Massa pemilih cenderung kurang memperdulikan aliran masing-masing partai politik.  Beberapa kajian tingkah laku memilih lain yang penting diketahui antaranya dilakukan oleh Gazali Mayudin (1993). Kajian yang dilakukan Mayudin ini mau menguji pengaruh uang, media dan jentera partai terhadap tingkah laku memilih di Kelantan. Dalam kajian ini, Gazali Mayudin mendapatkan bahwa pemilih Melayu Kelantan lebih tertarik pada PAS oleh karena isu rohani dan keagamaan dan kenegerian, berbanding terpengaruh oleh uang, media, jentera partai Umno BN. Studi yang sama juga dilakukan oleh Willy Wirman (2007) tentang politik pemilih pada Pemilu 2004 terhadap partai Amanat Nasional menghasilkan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan lebih didasarkan pada faktor keagamaan, sedangkan hubungan orientasi calon anggota DPRD lebih kepada kharisma dan asal kesukuan atau daerah calon legislatif. 

Kajian ini berbeda dengan apa yang pernah dikaji di Malaysia. Kajian tingkah laku pemilih di Negara Malaysia yang pernah dilakukan antaranya yaitu kajian yang dibuat oleh Mohd Faisal Syam Abdol Hazis, Neilson Ilan Mersat dan Ahli Sarok.  Kajian ini bertajuk Tingkah laku Pemilihan Dalam Pemilu DPRD Sarawak (2002), [1] mendapati bahwa perilaku memilih di Sarawak tidaklah static, sebab perilaku memilih masyarakat dipengaruhi oleh faktor calon dan partai. Faktor inilah yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemilih. Kajian lain tentang perilaku memilih yang pernah dilakukan disemenanjung adalah kajian oleh Nor Azimah (1992) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku pilih di Kota Tinggi Melaka. Beliau secara khas ingin menguji pengaruh ibu-bapa terhadap tingkah laku memilih anak-anaknya.  Kajian ini menemukan bahwa tidak ada pengaruh ibu bapa dalam memilih. Baginya tingkah laku memilih lebih dipengaruhi oleh faktor lain. Selain kajian yang dilakukan Nor Azimah di Kota Tinggi Melaka, Dodi Hendrik juga pernah dilakukan di Kota Bharu negeri Kelantan, yang bertajuk perilaku Pemilih Belia perilaku memilih pada Pemilu Tahun 2004.[2]hasil didapati,  tidak terdapat hubung kait antara jenis jentina belia dengan pola memilih belia. Kajian ini juga menyimpulkan bahwa tidak ada hubung kait antara tingkat umur belia dengan pola memilih belia. Sebagaimana kajian yang pernah dilakukan di Sabah oleh Neilson Mersat (1999)6 menyimpulkan bahwa faktor etnik yang mempengaruhi perilaku memilih di Sabah. Dimana pemilih bumi putra Islam lebih cenderung memilih Umno-BN. Sedangkan kaum Cina lebih cenderung memilih LDP dan SAPP.

 

Dalam era demokratisasi sekarang ini, hubungan antara kandidat dengan pemilih adalah hubungan yang tidak stabil, karena semakin kritisnya masyarakat dan semakin lunturnya ikatan tradisional maupun primordonal. Padahal, kandidat tak akan bisa memenangkan persaingan politik tanpa mendapatkan dukungan pemilih. Sehingga tidak mengherankan apabila menjelang pemilu, kandidat ramai-ramai mendekati pemilih untuk memberikan pilihannya. Hubungan pasif seperti ini,  telah diungkapkan, membuat pemilih menjadi objek politik. Padahal keberadaan pemilih seharusnya dijadikan subjek dan kandidat sebaiknya menempatkan diri sebagai pelayan serta agen pembaruan dalam masyarakat. Pada kenyataannya, hubungan antara kandidat dengan pemilih selalu beda dengan apa yang diharapkan pemilih setelah memenangkan pemilu.


 

kandidat  melupakan janji dan harapan politik yang telah mereka sampaikan di hadapan para pemilih. Mereka begitu sibuk mengurusi  kekuasaan untuk mengamankan posisi yang telah didapat. Sementara itu, di sisi lain para pemilih juga seringkali memindah-mindahkan dukungan mereka dari satu partai ke partai lain. Dengan semakin meningkatnya massa mengambang dan non-partaisan, harus disadari bahwa ikatan ideologi yang dulu sangat kuat itu sekarang telah luntur. Pemilih semakin hari menjadi sangat kritis dan selalu mengevaluasi apa saja yang telah dilakukan partai pemenang pemilu. Ketika mereka melihat bahwa program kerja yang dilaksanakan partai atau kandidat pemenang pemilu ternyata tidak sesuai dengan janji mereka sewaktu masa kampanye, pemilih dapat 'menghukum' partai atau kandidat dengan tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya.

 

Lebih jauh dikatakan Kristiadi dalam sejarah ilmu politik belum pernah dikemukan grand theory mengenai perilaku pemilih. Menurutnya, ada tiga macam teori perilaku memilih yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga mazhab besar. Pertama, teori perilaku memilih dari mazhab sosiologis. Teori ini menggunakan pendekatan sosiologis yang deterministic; Kedua, teori perilaku memilih dari mazhab psikologis, pendekatan teori ini menekankan bahwa voting ditentukan oleh tiga aspek yaitu keterkaitan, seseorang kepada partai politik tertentu, orientasi seseorang kepada presiden atau anggota parlemen serta orientasinya terhadap isu-isu politik. Identifikasi kepartaian adalah inti dari pendekatan psikologi untuk menjelaskan perilaku seseorang memberikan suara dalam pemilihan umum.  ketiga, merupakan teori penolakan terhadap kedua teori tersebut diatas, teori ini menggunakan pendekatan ekonomi atau rasional yang menekankan bahwa pemberian suara atau voting ditentukan berdasarkan perhitungan untung rugi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun