Dalam sejarah pemikiran Islam, Imam Al-Ghazali adalah sosok yang menempati tempat sangat istimewa. Ia dikenal sebagai ulama besar, sufi, ahli fikih, dan teolog yang hidup pada abad ke-11. Salah satu karya terkenalnya adalah "Tahfut al-Falsifah" (Kerancuan Para Filsuf), yang sering dianggap sebagai pukulan telak terhadap dunia filsafat di era kejayaan Islam. Karena itu, sebagian orang menyebut Al-Ghazali sebagai "penghancur filsafat" dan menuduhnya sebagai penyebab kemunduran intelektual di dunia Islam.
Tapi benarkah Al-Ghazali membenci filsafat? Dan benarkah karena dia, peradaban Islam jadi mundur? Mari kita bedah dengan lebih hati-hati.
Imam Al-Ghazali (1058--1111 M) hidup di masa keemasan Islam, saat filsafat Yunani sedang diadaptasi dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina. Mereka memadukan pemikiran Plato dan Aristoteles dengan teologi Islam. Filsafat saat itu menjadi bagian penting dalam pendidikan tinggi Islam, khususnya di bidang logika, metafisika, dan etika.
Namun, Al-Ghazali melihat adanya masalah serius dalam pemikiran para filsuf, terutama yang berusaha memasukkan pandangan metafisik Yunani ke dalam akidah Islam. Ia merasa ada bagian-bagian dalam filsafat yang bertentangan secara langsung dengan keyakinan Islam.
Kritik utama Al-Ghazali dituangkan dalam bukunya Tahfut al-Falsifah (Kerancuan Para Filsuf), di mana ia mengkritik tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa filsafat tidak seluruhnya salah, tetapi ada tiga poin pemikiran filsuf yang dianggap kufur:
Pertama Keyakinan bahwa alam ini qadim (tidak bermula) -- bertentangan dengan konsep penciptaan dalam Islam. Kedua Keyakinan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal secara umum, bukan secara rinci -- ini bertentangan dengan sifat ilmu Allah dalam Islam. Ketiga Penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akhirat -- padahal dalam Islam, kebangkitan itu bersifat jasmani dan ruhani.
Ketiganya dianggap oleh Al-Ghazali sebagai bentuk penyimpangan teologis yang tidak bisa ditoleransi. Sisanya, seperti logika, matematika, dan ilmu alam, masih ia anggap sah dan bermanfaat.
Jadi, Al-Ghazali tidak membenci filsafat secara keseluruhan, tetapi ia menentang filsafat yang menyimpang dari wahyu dan akidah Islam.
Masalah besar yang dipersoalkan Al-Ghazali adalah: apakah wahyu bisa dikalahkan oleh akal? Para filsuf cenderung memprioritaskan akal dalam memahami realitas, bahkan jika itu bertentangan dengan teks agama.
Al-Ghazali, sebagai seorang teolog (mutakallim), menolak sikap ini. Ia menganggap bahwa wahyu adalah sumber utama kebenaran, dan akal hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, bukan untuk menggantikannya.