Mohon tunggu...
Mul Tazam
Mul Tazam Mohon Tunggu... -

Aku dilahirkan dari keluarga sederhana tinggal di dekat gunung. Sejak kecil aku selalu ingin melihat perbedaan karena perbedaan itu bagiku bisa menambah ilmu. "Belajar hingga nafas terakhir"

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Aceh Sudah Sekarat

6 Januari 2014   13:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio



Komunikasi  adalah salah satu cara kita membina hubungan dengan mahkluk hidup di planet bumi ini. Komunikasi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui komunikasi lisan dan komunikasi tulisan. Situs www.wikipedia.org menuliskan, komunikasi melalui lisan itu dilakukan antara dua makhluk hidup saling berhadapan antara satu dengan yang lain, sedangkan komunikasi melalui tulisan dilakukan dengan perantaraan tulisan tanpa adanya pembicaraan secara langsung dengan menggunakan bahasa yang singkat, jelas, dan dapat dimengerti oleh penerima.


Dalam berkomunikasi, tentunya kita harus menggunakan bahasa-bahasa yang baik dan benar, sehingga lawan bicara kita akan mudah memahaminya.  Berbicara bahasa, banyak sekali terdapat di dunia ini. Di Aceh saja, ada puluhan bahasa yang sering digunakan oleh para penduduk ketika Kerajaan Aceh Darussalam masih ada, hal tersebut disebabkan oleh banyaknya suku/etnik yang berada dalam wilayah ini.  Bahasa Aceh memang sangat menarik untuk dibicarakan.

A Rahman Kaoy, salah seorang pemerhati sejarah Aceh mengatakan, bahasa resmi yang digunakan oleh Kerajaan Aceh adalah Bahasa Aceh. Bahasa Aceh dikenal karena cenderung enak didengar dan kata-katanya pendek, seperti untuk menyebut untuk “air kelapa”, dalam bahasa Aceh, penyebutannya cukup dengan dua kata “i u”.  Begitu juga dengan “nasi” disebut “bu”.
Bahasa Aceh dikenal karena halus. Bahasa Aceh memiliki tutur yang untuk mengekspresikan rasa hormat kepada seseorang. Sehingga mudah bagi seseorang untuk mempelajarinya. Bahasa Aceh adalah bahasa yang mudah dipelajari. Bahkan untuk orang asing sekalipun.
Sejumlah kata dalam bahasa Aceh pesisir diadaptasi dari bahasa Arab. Seperti pisau; sikin  dan sejumlah kata lainnya.
Pendapat serupa juga yang disampaikan Ketua Pusat Studi Bahasa Aceh (PUSPADA) Muhammad Harun Rasyid. Menurutnya sejak zaman kerajaan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh tapi Aceh pesisir.  Hal ini dilihat dari berbagai literature sejarah menyebutkan para pegawai di Kerajaan Aceh saat itu banyak dari kalangan pesisir. Sehingga hal itu diasumsikan bahasa resmi yang digunakan  pemerintahan Aceh kala itu adalah Bahasa  Aceh Pesisir. Sensus yang dilakukan Belanda pada 1930-an juga menyebutkan sekira 74 persen masyarakat Aceh memakai bahasa pesisir.
Namun demikian, karena  penduduknya  berasal dari beragam suku, Kerajaaan Aceh memberikan kebebasan untuk rakyatnya  yang terbentang dari Aceh, Riau, Malaysia sampai ke Brunei Darussalam, untuk menggunakan bahasa masing-masing.
Disamping itu, pada masa keemasan tersebut, pihak kerajaan menggunakan bahasa  melayu sebagai bahasa pengantar, hal ini dibuktikan oleh sejumlah dokumen yang dimiliki Kerajaan Aceh dituliskan dengan menggunakan tulisan Arab Melayu.
Perkembangan bahasa di Aceh mulai terkikis saat seorang Belanda bernama Christiaan Snouck Hurgronje dan Van Suiten sekira 1881 Masehi masuk ke Aceh. Saat itu, tidak hanya membawa  perubahan pada bahasa, perlahan, duo Belanda ini juga merusak sejumlah budaya Aceh sebagai cara untuk melumpuhkan kerajaan Aceh, atas perintah Ratu Belanda. Penyebab lainnya, adalah kurangnya kecintaan masyarakat Aceh  pada bahasa sendiri adalah konflik berkepanjangan dan tak terbendungnya pengaruh budaya asing yang masuk ke Aceh. Akibatnya, tak heran jika ada warga Aceh ada yang tidak bisa bahasa pribuminya.
Saat ini, di  Provinsi Aceh sendiri, sedikitnya terdapat 10 bahasa daerah. Di antaranya, Aceh pesisir, Gayo, Tamiang,  Jamee, Alas, Haaloban, Jamee, Singkil, Sigulai dan Devayan.
Namun demikian, meskipun kita banya bahasa tetapi generasi muda Aceh sekarang sudah mulai minder (malu) menggunakan bahasa ibunya, mereka hanya menjadikan bahasa tersebut sebagai bahasa kedua.
Kondisi seperti sangat disayangkan, jika tidak segera diantasipasi maka ke depan bahasa Aceh tidak akan ada lagi di tanah ini . Karena itu, untuk melestarikan kembali bahasa Aceh maka media sangat berperan penting terutama media massa. Pemerintah Aceh harus segera memikirkan masalah ini agar bahasa Aceh bisa dilestarikan kembali. Senada Harun, Rahman juga mengingatkan agar lingkungan tetap mengajarkan bahasa daerah masing-masing sebagai bahasa utama untuk menjaga kelestarian bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun