Di sinilah masa depan berada. Gen Z perlu melihat internet bukan hanya sebagai tempat hiburan, tetapi juga sebagai ruang inovasi: membuat konten berbasis riset, membangun startup digital, atau mengembangkan komunitas berbasis pengetahuan.
Jika 90% sudah menguasai internet, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana mengubah penguasaan itu menjadi keunggulan kompetitif.
Literasi Digital: PR Besar di Era AI
Masalah terbesar yang sering muncul bukan kurangnya akses, tetapi rendahnya literasi digital. Bahkan, kehadiran AI semakin memperjelas tantangan ini.
Dengan kecerdasan buatan, siapapun bisa mendapatkan jawaban instan dari ringkasan buku hingga rancangan esai. Tetapi apakah semua jawaban itu valid?
AI bisa saja “mengarang” sumber, mencampuradukkan fakta, atau menyajikan data yang tidak akurat. Jika pengguna hanya menerima mentah-mentah, kemampuan berpikir kritis bisa tumpul.
Di sinilah pentingnya literasi digital kita untuk memeriksa, membandingkan, dan mengonfirmasi. AI bukan musuh, melainkan alat. Namun, kualitas hasilnya tetap bergantung pada siapa yang menggunakannya.
Bagi Gen Z, membangun literasi digital berarti harus berani bertanya lebih jauh. Semisalnya, apakah informasi yang saya terima benar? Dari mana sumbernya? Bagaimana dampaknya jika saya bagikan ulang?
Dengan cara begitu, internet bukan lagi lautan informasi yang membingungkan, tetapi medan untuk melatih daya analisis.
Melihat ke depan, tantangan ini justru bisa menjadi peluang. Generasi yang literat secara digital akan lebih siap menghadapi dunia kerja berbasis teknologi, lebih kritis terhadap isu sosial, dan lebih kreatif dalam menciptakan solusi.
Data tentang 90% Gen Z yang menguasai internet seharusnya tidak berhenti di statistik. Ia harus dibaca sebagai titik awal untuk mendorong literasi yang lebih dalam agar generasi ini bukan hanya cepat, tetapi juga bijak.