Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Drama Pekerja yang Semangatnya Cuma Buat Tap In Fingerprint

11 September 2025   13:00 Diperbarui: 11 September 2025   11:39 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerja Kantoran (Sumber: Unsplash)

Setiap tempat kerja selalu punya karakter manusia yang serba unik.

Ada yang penuh semangat, ada yang tenang, ada juga yang suka jadi penghibur suasana. 

Namun ada satu tipe pekerja yang rasanya selalu muncul di setiap kantor. Mereka ini bukan sosok yang dikenal rajin atau produktif, melainkan orang yang semangatnya cuma berkobar ketika berdiri di depan mesin absensi. 

Begitu tap in fingerprint, entah ke mana perginya energi itu. Yang tersisa hanyalah tubuh yang sekadar hadir, tanpa niat sungguh-sungguh untuk memberi kontribusi.

Kemarin saya kembali berhadapan dengan tipe pekerja ini. Saat sedang tenggelam dengan pekerjaan yang cukup menumpuk, seseorang tiba-tiba datang menghampiri. 

Dengan santai ia berkata “Tes, ayo bikin projeknya yok. Gue mau pulang nih.” Sontak saya berhenti sejenak.

Antara kaget dan kesal, saya pun menjawab “Lah, lu nggak liat gue lagi kerja nih?” sambil mencoba menahan nada emosi.

Bagaimana mungkin seseorang yang hampir tidak terlihat proses kerjanya, tiba-tiba muncul lalu meminta bantuan dengan alasan ingin cepat pulang.

Pengalaman semacam ini membuat saya berpikir ulang tentang arti kerjasama. Idealnya, bekerja bersama berarti saling mendukung untuk mencapai tujuan tim. 

Namun realitas di lapangan sering berbeda. Ada orang yang justru melihat rekan kerja sebagai jalan pintas untuk menutupi kekurangannya. 

Bukannya berbagi beban secara adil, justru ada yang melempar tanggung jawab ke orang lain.

Ketika semangat kerja hanya sebatas formalitas

Fenomena pekerja yang semangatnya hanya muncul saat absen bukan hal sepele. 

Mereka hadir secara fisik, tetapi jiwa produktivitasnya seolah tertinggal di rumah. 

Kalimat andalan mereka terdengar seperti slogan tak resmi kantor. 

“Kerja, nggak kerja, yang penting masuk presensi (absen).”

Kehadiran orang seperti ini sering menciptakan beban baru. Dibanding menambah stamina kerja, mereka bisa menguras energi rekan-rekannya. 

Situasi menjadi semakin berat ketika proyek penting sedang berlangsung. Seharusnya berjalan lancar pekerjaan malah tersendat karena ada satu anggota tim yang tidak sungguh-sungguh.

Di sinilah letak ironi dunia kerja. Sistem absensi seharusnya menjadi pengingat disiplin, tetapi bagi sebagian orang justru dijadikan simbol pencapaian utama. 

Mereka merasa sudah melakukan kewajiban hanya dengan menunjukkan jari ke mesin fingerprint

Padahal esensi bekerja tidak berhenti di sana. Kehadiran harus diikuti dengan kontribusi yang nyata.

Saya pun jadi merenung. Betapa mudahnya seseorang terlihat seperti pekerja yang patuh hanya karena hadir tepat waktu.

Namun di balik itu, masih banyak yang memandang kerja sebatas formalitas. Ada rasa kecewa, tetapi juga ada pelajaran berharga. 

Bahwa kerja keras bukan tentang seberapa cepat kita datang atau pulang, melainkan tentang seberapa tulus kita memberi yang terbaik dalam waktu yang tersedia.

Belajar menjaga semangat rekan kerja

Bekerja dengan orang malas memang bisa menguji kesabaran. Namun ada hal yang bisa kita pelajari darinya. 

Pertama, pentingnya menjaga batas tanggung jawab. Kita perlu berani berkata tidak ketika permintaan orang lain jelas-jelas merugikan pekerjaan yang sedang kita lakukan.

Kedua, kita perlu membangun semangat kerja bukan karena orang lain, tetapi karena integritas pribadi.

Tidak bisa dipungkiri, setiap orang punya gaya kerja yang berbeda. Ada yang cepat menyelesaikan tugas, ada yang butuh waktu lebih lama, ada juga yang butuh dorongan dari rekan satu tim.

Namun ketika rasa malas berubah menjadi kebiasaan, maka dampaknya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk lingkungan sekitar.

Kerja seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban, melainkan juga sebagai ruang untuk berkembang. 

Semangat bukanlah sesuatu yang bisa dibeli atau dititipkan pada orang lain. Ia harus lahir dari dalam diri. 

Kita memang tidak bisa mengubah orang malas menjadi rajin dalam sekejap. Namun, kita bisa memilih untuk tidak terjebak dalam drama mereka.

Mungkin inilah refleksi sederhana yang bisa diambil dari pengalaman tersebut. 

Mesin fingerprint memang bisa mencatat kehadiran, tetapi hanya diri kita sendiri yang bisa mencatat kontribusi. Di situlah letak nilai sejati dari sebuah pekerjaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun