Hidrogen dianggap lebih bersih karena bersumber dari air (H2O). Lewat proses elektrolisis, air bisa dipecah menjadi hidrogen dan oksigen. Hidrogen inilah yang kemudian dimasukkan ke dalam fuel cell dan dikonversi menjadi listrik untuk menggerakkan mobil.
Yang menarik, hasil "sisa" dari pembakaran ini bukan emisi karbon, melainkan ... air. Artinya, nyaris tidak ada polusi yang dihasilkan dari mobil berbahan bakar hidrogen.Â
Inilah alasan kenapa Jepang dengan reputasinya sebagai inovator otomotif, memilih untuk berinvestasi besar-besaran ke teknologi ini. Meskipun sekarang pasarnya belum seramai mobil listrik berbasis baterai.
Lalu, Kalau Diterapkan di Indonesia, Apa Tantangannya?
Di atas kertas dan pemikiran manusia, teknologi hidrogen memang terlihat ideal. Bahan bakar dari air, tidak berisik, tidak beremisi, dan bisa diisi ulang dengan cepat. Tapi bagaimana kalau kita bicara soal implementasi di Indonesia?
Tantangannya ada banyak dan bukan cuma soal teknologinya. Infrastruktur otomotif adalah hambatan terbesar. Saat ini saja, stasiun pengisian daya listrik masih terbatas jumlah dan persebarannya. Apalagi stasiun pengisian hidrogen, yang teknologinya jauh lebih baru dan belum ada dalam skala nasional.
Selain itu, biaya produksi hidrogen (terutama yang benar-benar bersih dari elektrolisis dengan sumber energi terbarukan) juga masih tinggi. Kalau pemerintah tidak serius mendorong teknologi ini, harga mobil dan bahan bakarnya akan terlalu mahal untuk pasar umum.
Belum lagi aspek regulasi, keselamatan, dan edukasi publik. Banyak orang belum benar-benar paham perbedaan mobil listrik baterai dan mobil hidrogen. Sosialisasi yang belum masif juga membuat masyarakat masih berpikir bahwa "yang penting gak pakai bensin" sudah cukup. Padahal, ada banyak level keberlanjutan yang bisa dicapai, dan Jepang sedang mencontohkan salah satunya.
Namun, bukan berarti kita harus pesimis. Justru sekarang saatnya melihat peluang. Indonesia sebagai negara maritim dan tropis punya sumber daya air dan potensi energi terbarukan yang luar biasa dari PLTA, PLTS, hingga biomassa.
Jika transisi ini dirancang sejak sekarang, Indonesia bisa punya masa depan transportasi yang benar-benar ramah lingkungan, bukan sekadar berpindah dari emisi bensin ke emisi batu bara.
Jepang memang terkenal dengan gaya konservatifnya yang hati-hati, tapi strategis.