Bertahan: Strategi Hidup yang Tak Selalu Sehat
Bertahan adalah bagian alami dari kehidupan. Dalam situasi sulit, manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menyesuaikan diri dan terus berjalan meski dalam tekanan.Â
Namun, bertahan yang terlalu lama tanpa disertai ruang untuk bernapas dan merasakan bisa membawa dampak negatif. Emosi yang ditekan, harapan yang dikubur, dan rasa lelah yang diabaikan dapat menumpuk menjadi kelelahan mental.
Berbeda dengan bersyukur yang memberi energi, bertahan sering kali mengurasnya. Seseorang yang terus bertahan tanpa jeda bisa mengalami apa yang disebut sebagai "survival mode" hidup hanya dari satu hari ke hari berikutnya, tanpa benar-benar merasa hadir atau terhubung dengan dirinya sendiri.
Ada juga kecenderungan untuk membandingkan diri dengan mereka yang dianggap "lebih menderita", lalu menutup suara hati sendiri. Padahal, setiap orang punya kapasitas dan batas yang berbeda.
Mengakui bahwa hidup berat tidak berarti tidak bersyukur. Justru, dengan jujur terhadap diri sendiri, kita bisa mengenali kebutuhan dan mencari bantuan sebelum benar-benar kehabisan tenaga.
Ruang di Antara Keduanya
Tidak semua hal dalam hidup bisa dikotakkan secara hitam-putih. Kadang, seseorang bisa bersyukur dan bertahan dalam waktu yang bersamaan. Yang penting adalah kesadaran untuk membedakan apakah kita sedang memilih menerima dengan hati terbuka atau hanya diam karena merasa tidak punya pilihan?
Bersyukur seharusnya bukan bentuk pemaksaan untuk selalu positif, melainkan jalan untuk tetap terhubung dengan hal-hal baik di tengah realitas yang tidak sempurna.Â
Sementara bertahan, meskipun merupakan bentuk kekuatan, juga perlu disertai keberanian untuk berhenti sejenak, menilai ulang arah, dan memberi ruang bagi diri sendiri untuk merasa.
Mungkin kita tidak selalu punya jawaban pasti. Tapi mengenali perbedaan antara bersyukur dan bertahan bisa jadi langkah awal untuk hidup yang lebih jujur, lebih utuh, dan lebih manusiawi.