"Kerja apaan sih? Kok di rumah terus?" Kalimat seperti ini mungkin terdengar sepele, tapi bisa cukup mengusik hati bagi mereka yang menjalani sistem kerja dari rumah.Â
Apalagi jika datang dari orang-orang terdekat seperti keluarga atau tetangga. Seakan-akan keberadaan kita di rumah otomatis berarti sedang menganggur, padahal layar laptop tak pernah mati dan jadwal rapat daring selalu padat.
Salah satu tantangan terbesar dalam pola kerja fleksibel adalah stigma sosial. Meski produktivitas tetap terjaga, bahkan kadang melebihi jam kantor biasa, tidak semua orang mampu memahami bentuk kerja modern ini.Â
Akhirnya, banyak pekerja WFH merasa harus terus membuktikan bahwa mereka memang sedang "kerja beneran".
Memahami Perspektif dan Mengedukasi Lewat Komunikasi
Daripada terpancing emosi, memahami bahwa sebagian orang memang belum akrab dengan sistem kerja fleksibel bisa menjadi titik awal.Â
Perbedaan generasi, lingkungan sosial, dan akses terhadap teknologi memengaruhi cara pandang seseorang terhadap konsep "kerja".Â
Maka, pendekatan komunikasi menjadi penting. Bukan untuk membela diri secara berlebihan, tapi untuk membangun pengertian.
Contohnya, ketika mendapat komentar sinis, bisa dijawab dengan tenang, "Iya, sekarang memang sistem kerja kantorku hybrid. Jadi, banyak meeting lewat Zoom juga, justru lebih padat dibanding kerja di kantor."Â
Dengan cara ini, kita tidak hanya memberi informasi, tapi juga memperlihatkan bahwa kerja itu bisa terjadi di mana saja selama hasil dan tanggung jawab tetap terjaga.
Komunikasi yang asertif sangat membantu dalam mengubah persepsi.Â