Bahkan ketika AI hadir, rasa takut kehilangan keaslian adalah bukti bahwa tulisan kita memang punya nyawa.Â
Maka, bagi mereka yang memilih tidak menggunakan AI, itu adalah pilihan yang sah dan terhormat. Mereka ingin mempertahankan proses yang lebih murni, meski memakan waktu lebih lama.
Sebaliknya, penulis yang menggunakan AI bukan berarti kehilangan kepribadiannya. Mereka justru mencoba melihat dunia dengan perspektif baru. AI bisa memberi saran struktur, pilihan kata, bahkan contoh gaya penulisan yang belum terpikirkan sebelumnya.Â
Tapi tetap saja, penentuan akhir tetap ada di tangan manusia. AI hanya menyuguhkan, bukan mengendalikan. Inspirasi tetap datang dari pengalaman, pemikiran, dan intuisi penulis itu sendiri.
Kolaborasi manusia dan AI bukan tentang siapa lebih pintar, tapi siapa yang lebih adaptasi dengan dunia.
Yang membedakan tulisan manusia dan tulisan AI bukan hanya soal gaya, tapi soal kesadaran. Ketika seorang penulis menulis, ia membawa pengalamannya, latar belakang, nilai, dan kadang luka yang belum selesai. Hal-hal seperti itu tidak bisa ditiru oleh mesin.
AI bisa meniru gaya lisan dan non-lisan, bisa menyusun argumen dengan logis, tapi tidak bisa menciptakan makna personal yang lahir dari hidup yang dijalani.
Di titik ini, AI sebenarnya bisa menjadi alat bantu yang sangat bermanfaat.
Ia membantu memotong waktu brainstorming, menyarankan pilihan kata yang mungkin lebih efektif, atau memberi alternatif sudut pandang yang segar.Â
Namun AI tetap alat. Ia tidak akan pernah menggantikan kebijaksanaan penulis dalam memilih mana yang layak dipertahankan dan mana yang harus dibuang.
Menulis bersama AI bukan berarti menyerah pada kecanggihan. Justru sebaliknya, ia menantang kita untuk semakin mengenali kekuatan dan identitas tulisan kita.Â