Dunia menulis hari ini tidak lagi hanya soal pena dan kertas, atau jari dan keyboard. Kini, hadir satu "partner" baru yang sering kali memicu perdebatan, yaitu Artificial Intelligence.Â
Ada yang menyambutnya sebagai sahabat baru dalam menggali ide dan mempercepat proses menulis. Ada pula yang justru menghindar, merasa bahwa melibatkan AI dalam tulisan adalah bentuk ketidakjujuran atau kehilangan otentisitas.
Namun di tengah pro dan kontra, yang menarik justru bukan sekadar soal menggunakan atau tidak menggunakan AI, melainkan bagaimana setiap penulis memiliki caranya masing-masing.Â
Ada yang tetap ingin menjaga keaslian tulisan dengan tidak melibatkan teknologi canggih apa pun. Ada juga yang menggunakan AI sebagai pemantik ide, bukan sebagai pengganti kreativitas.Â
Di antara dua pilihan itu, sesungguhnya ada ruang kolaborasi yang tidak harus mengorbankan nilai tulisan itu sendiri.
Menulis itu personal dan AI tidak menghapus hal itu
Menulis bukan sekadar menyusun kata. Ia adalah cerminan pikiran, rasa, dan cara pandang seseorang terhadap dunia.Â
Itulah mengapa banyak penulis merasa kurang nyaman jika AI terlalu banyak campur tangan dalam proses kreatif mereka.Â
Mereka takut suara pribadi yang khas dan orisinal tergantikan oleh struktur yang terlalu sempurna, tapi tanpa emosi.
Namun, kekhawatiran itu justru mengingatkan kita bahwa menulis tetaplah proses yang sangat manusiawi.Â