Hari Kartini bukan sekadar perayaan memakai kebaya dan menyanyikan lagu "Ibu Kita Kartini."Â
Lebih dari itu, ia adalah momentum untuk merenungkan ulang makna perjuangan perempuan Indonesia di masa kini.Â
Jika dahulu Kartini memperjuangkan hak perempuan untuk mengenyam pendidikan, kini perjuangan itu bertransformasi dalam banyak bentuk.Â
Salah satunya adalah ketika perempuan mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Tak lagi hanya berada di dapur, sumur, dan kasur, perempuan masa kini melangkah keluar rumah, bekerja, dan menjadi harapan utama dalam menjaga ekonomi keluarga.Â
Mereka tidak hanya menjadi simbol emansipasi, tapi juga wujud nyata dari ketangguhan tanpa batas.
Kartini Masa Kini: Perempuan sebagai Tulang Punggung Keluarga
Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah peran yang ringan. Tanggung jawab ini menuntut keberanian, ketangguhan, dan pengorbanan yang tidak kecil.Â
Banyak perempuan yang harus bekerja dari pagi hingga malam demi memenuhi kebutuhan hidup anak-anak dan orang tua.Â
Mereka mengatur keuangan, memastikan makanan tersedia di meja, membayar sekolah, bahkan merawat anggota keluarga yang sakit.Â
Semua ini dilakukan sambil tetap menjalankan peran domestik, yang sering kali dianggap sebagai kewajiban utama perempuan.
Saat ini, tidak sedikit ibu yang justru lebih banyak menanggung biaya pendidikan anak. Ini bukan berarti peran ayah tidak ada, tetapi realitasnya, kondisi finansial ayah sering kali belum mencukupi, baik untuk kebutuhan dasar, biaya pendidikan, maupun hal-hal yang sifatnya menunjang kepuasan dan pengembangan diri anak.Â