Dunia bergerak dengan ritme yang ditentukan oleh algoritma. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, hampir setiap langkah manusia kini bersinggungan dengan kecerdasan buatan.Â
Mulai dari alarm pintar, asisten digital, hingga sistem rekomendasi yang mengatur pilihan hiburan dan belanja. Tanpa kita sadari, AI telah menjelma menjadi nadi kehidupan modern, mengatur arah dan tempo peradaban.Â
Kehilangan AI hari ini bukan sekadar gangguan teknologi, melainkan perubahan besar yang dapat mengguncang fondasi kenyamanan yang telah kita bangun bersama
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan lonjakan pemanfaatan teknologi AI di hampir semua aspek kehidupan. Ia menyelinap masuk lewat aplikasi harian, mengatur jadwal kita, memperkirakan cuaca, memfilter email, hingga membantu kita mengambil keputusan lewat data yang tak kasat mata.Â
AI menjadi semacam 'otak tambahan' yang bekerja 24 jam: lebih cepat, lebih akurat, dan, bagi sebagian orang, lebih bisa diandalkan daripada manusia.
Namun, justru di titik inilah kita patut bertanya: jika AI tiba-tiba tak bisa digunakan, apa yang terjadi? Apakah kita masih ingat cara membaca peta jalan tanpa Google Maps?Â
Bisakah kita kembali menyusun laporan sendiri tanpa bantuan AI seperti ChatGPT atau Grammarly? Atau menyortir ribuan data manual di Excel tanpa sistem analisis prediksi cerdas?
Manusia dan Teknologi: Ketergantungan yang Tumbuh Diam-diam Secara Cepat
Yang menarik dari perkembangan AI bukan hanya kecepatannya, tapi juga bagaimana ia membentuk pola pikir dan kebiasaan manusia.Â
Ketika semuanya bisa diotomatisasi, muncul efek psikologis yang tidak disadari: kita jadi lebih malas berpikir kritis, kurang sabar, dan lebih mengandalkan mesin untuk menyelesaikan masalah.
Saya ingat ketika dulu masih harus mencari referensi di perpustakaan, mencatat manual, dan menyusun ide tulisan dengan coretan kertas yang berantakan.Â