Siapa yang pernah dapat komentar di media sosial seperti "Cantik banget!", "Sukses selalu!", atau "Keren abis!" di Instagram, Facebook, atau media sosial lainnya? Pasti banyak, 'kan?
Tapi, pernah nggak sih merasa kalau pujian-pujian ini terasa… kosong? Seperti hanya formalitas belaka? Apakah kita benar-benar mengapresiasi seseorang atau sekadar ikut tren biar kelihatan peduli?
Pujian yang Banyak Bertebaran
Di era digital, interaksi sosial lebih sering terjadi lewat layar daripada tatap muka. Setiap hari, kita disuguhi postingan tentang pencapaian seseorang, foto liburan yang aesthetic, atau bahkan sekadar selfie dengan pencahayaan sempurna. Dan reaksi kita? Biasanya refleks mengetik: "Keren!", "Masha Allah cakep!", "Goals banget hidup lo!" tanpa berpikir panjang.
Pujian semacam ini memang menyenangkan bagi penerima, tapi sering kali hanya sebatas itu. Lima menit kemudian, mereka mungkin sudah lupa siapa saja yang berkomentar. Begitu juga kita yang memberi pujian, hanya mengetik tanpa benar-benar merasakan maknanya. Akhirnya, interaksi ini terasa dangkal dan lebih mirip basa-basi digital daripada apresiasi yang tulus.
Fenomena ini bisa dikaitkan dengan istilah performative kindness, yaitu tindakan yang terlihat baik dan mendukung, tapi sebenarnya dilakukan lebih untuk membangun citra diri ketimbang kepedulian yang tulus.
Misalnya, seseorang yang hampir tidak pernah ngobrol dengan kita tiba-tiba menuliskan komentar pujian super panjang di hari ulang tahun kita. Atau, ada yang selalu memberi komentar manis di setiap postingan kita, tapi saat bertemu di dunia nyata, nyaris tidak pernah menyapa.
Bukan berarti pujian di media sosial itu salah. Masalahnya adalah ketika pujian hanya digunakan sebagai alat untuk "menjaga hubungan" di dunia maya tanpa keterlibatan emosional yang nyata. Kita sering merasa perlu berkomentar hanya agar tetap eksis dalam lingkaran pertemanan digital, bukan karena benar-benar ingin menyampaikan apresiasi.
Apakah Pujian Digital Bisa Bermakna?
Tentu saja bisa! Ada beberapa cara agar pujian di media sosial terasa lebih tulus dan tidak sekadar basa-basi:
Beri Pujian yang Spesifik: Daripada sekadar mengetik "Cakep!", coba tambahkan detail yang menunjukkan bahwa kamu benar-benar memperhatikan. Misalnya: "Wah, warna bajunya cocok banget sama kamu! Bikin auranya makin strong." Pujian seperti ini lebih terasa personal dan berkesan.
Jangan Hanya di Komentar, Tapi Juga di Kehidupan Nyata: Kalau memang benar-benar mengagumi seseorang, ungkapkan juga di luar media sosial. Chat langsung, ucapkan saat bertemu, atau beri dukungan nyata. Komentar di Instagram bisa hilang tertelan algoritma, tapi kata-kata tulus yang diucapkan langsung lebih membekas.
Pujian yang Seimbang dengan Proses: Jangan hanya memuji saat seseorang terlihat sukses atau tampil sempurna. Sesekali, tunjukkan apresiasi untuk usaha mereka, misalnya: "Aku tahu kamu kerja keras buat proyek ini. Hasilnya keren banget!" Ini menunjukkan bahwa kamu benar-benar peduli, bukan sekadar ikut tren.
Kurangi "Balas Budi" dalam Pujian: Kadang kita memuji hanya karena merasa perlu membalas pujian yang pernah diberikan orang lain. Misalnya, saat seseorang selalu komen di postingan kita, kita jadi merasa wajib melakukan hal yang sama. Padahal, pujian yang tulus tidak perlu datang dari rasa “utang” sosial.
Membangun Interaksi Digital yang Lebih Bermakna
Media sosial memang membuat kita lebih mudah berbagi dan berkomunikasi, tapi jangan sampai interaksi kita hanya jadi rutinitas kosong.
Pujian yang tulus dan bermakna bisa memperkuat hubungan, sedangkan pujian yang sekadar basa-basi hanya akan berakhir di kolom komentar yang cepat terlupa.
Kapan terakhir kali Anda memberi pujian yang benar-benar tulus kepada seseorang, baik di dunia maya maupun nyata?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI