Opini Bambang Prijambodo (ekonom Senior) yang ditulis di Kompas terbit 3 Juni 2025 menarik untuk dibaca. Opini itu berjudul "Garis Kemiskinan Perlu Dinaikkan". Lalu bagaimana peluang dan tantangan yang akan terjadi jika Garis Ambang Kemisinan dinaikkan ?
Setiap perubahan kebijakan akan ada kelebihan dan akan ada pula tantangan yang mengikuti. Tentunya kenaikan ini tidak hanya soal angka, tetapi merupakan penyesuaian atas realitas sosial-ekonomi yang telah berubah. Ini juga bisa diartikan sebagai keberpihakan negara terhadap warganya yang paling membutuhkan. Di tengah komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), menaikkan garis kemiskinan nasional menjadi fondasi penting untuk memastikan tidak ada satu pun warga yang tertinggal dalam perjalanan menuju kesejahteraan bersama.
Mungkin inilah mengapa diperlukan pendekatan baru untuk mengatasi tingkat kemiskinan yang persisten di Indonesia. Data yang dikumpulkan pada April 2025 menunjukkan perbedaan mencolok antara angka kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu 8,57%, dan perkiraan Bank Dunia, yang mencapai 60,3% dengan standar negara berpendapatan menengah atas (UMIC). Perbedaan ini menunjukkan perbedaan metodologis yang mendasar: BPS mengukur kemiskinan absolut berdasarkan kebutuhan dasar minimal, sedangkan Bank Dunia menggunakan standar yang disesuaikan dengan tingkat pendapatan dan daya beli masing-masing negara.
Garis kemiskinan nasional Indonesia saat ini berada di sekitar 3,16 dolar PPP per kapita per hari. Purchasing Power Parity (PPP) atau Paritas Daya Beli adalah konsep ekonomi yang digunakan untuk membandingkan tingkat daya beli antarnegara dengan cara menyesuaikan perbedaan harga barang dan jasa. Secara sederhana, Purchasing Power Parity menyatakan bahwa jumlah uang yang sama seharusnya dapat membeli jumlah barang dan jasa yang sama di berbagai negara, setelah dikonversi menggunakan nilai tukar PPP.
Meskipun angka ini sudah di atas garis kemiskinan ekstrem global (2,15 dolar PPP), namun masih di bawah ambang batas Upper Middle-Income Country (UMIC) atau Negara Berpendapatan Menengah Atas yaitu sebesar 6,85 dolar PPP, dan bahkan sedikit di bawah batas untuk negara berpendapatan menengah bawah (LMIC) yang sebesar 3,65 dolar PPP. Padahal, Indonesia secara resmi telah masuk ke dalam kelompok negara UMIC.
Kesenjangan ini menyulitkan kebijakan publik dalam menjangkau kelompok masyarakat yang secara ekonomi sangat rentan, tetapi tidak tercatat sebagai penduduk miskin secara resmi.
Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan kenaikan garis kemiskinan nasional. Tujuannya bukan sekadar menaikkan angka statistik, tetapi agar lebih banyak penduduk yang selama ini berada di ambang kemiskinan dapat teridentifikasi dan dijangkau oleh program pemerintah. Saat ini, kelompok rentan miskin di Indonesia mencapai sekitar 24,4 persen penduduk. Jika kelompok ini digabungkan dengan penduduk miskin menurut definisi BPS, maka sekitar sepertiga penduduk Indonesia hidup dalam kondisi ekonomi yang rapuh.
Kenaikan garis kemiskinan akan memberikan beberapa manfaat strategis.
Pertama, hal ini akan menghasilkan gambaran kemiskinan yang lebih realistis. Ini sejalan dengan pendekatan capability dari ekonom Amartya Sen, (Peraih Nobel Ekonomi 1998 atas karya dalam bidang ekonomi kesejahteraan dan sosial) yang menekankan pentingnya mengukur kemiskinan bukan hanya dari sisi pengeluaran, tetapi juga dari kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan yang layak. Sen berpendapat bahwa kemiskinan harus dilihat sebagai kekurangan kemampuan (capability deprivation), yang mencakup berbagai aspek kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, dan partisipasi sosial .
Kedua, kebijakan dan program sosial akan menjadi lebih tepat sasaran. Dengan redefinisi yang lebih inklusif, program bantuan sosial tidak lagi terbatas pada kelompok yang sangat miskin, tetapi juga dapat menjangkau mereka yang rentan jatuh miskin. Hal ini mendukung agenda inclusive growth, di mana pertumbuhan ekonomi tidak hanya mengejar angka PDB, tetapi juga menjamin kesejahteraan kelompok yang paling rentan. Studi oleh IMF menunjukkan bahwa pertumbuhan yang inklusif dapat mengurangi kemiskinan dan ketimpangan secara simultan, serta mendorong stabilitas sosial dan politik.