Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pandemi Rindu dan New Normal

25 Mei 2020   11:50 Diperbarui: 25 Mei 2020   12:15 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak wabah covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global, dunia seakan lambat berputar namun waktu terasa cepat berlalu.

Betapa tidak, bagi sebagian orang kondisi pandemi mungkin bukan hambatan, karena pekerjaan dan aktivitas lainnya dirasa cukup terselesaikan dengan perkembangan teknologi virtual, termasuk proses pengajaran di sekolah.

Saya jadi ingat saat membaca salah satu koran nasional minggu lalu, di daerah Gunung Kidul ada dusun yg lokasinya terjepit diantara bukit-bukit, sehingga masyarakat termasuk anak sekolah, terpaksa berjalan menuju suatu bukit untuk bisa dapat sinyal. Bukit ini pun diberi nama bukit sinyal.

Kondisi Pandemi bagi sebagian yang lain tentu sebuah ujian berat, saat ada keluarga yg terjangkit, ada usaha harus tutup, ada proyek tertunda, ada PHK karyawan, dan ada ruang gerak terbatas.

Ditengah kondisi seperti ini, empati adalah sebuah kata yang kuat maknanya untuk bisa saling memahami. Bukan untuk mencaci, apalagi sampai menyebut konspirasi seperti yang dikatakan musisi/ drummer SID.

Apalah arti deretan angka statistik korban terpapar bila kita hanya memaknai sebagai angka belaka. Apalagi sejak ada istilah "No Picture is Hoax", bagi sebagian orang mungkin data angka hanya diangkap pemanis formal belaka. Sehingga tidak aneh saat pandemi bersamaan menjelang lebaran jalanan tetap ramai, pasar tetap ramai, dan transportasi tetap ramai.

Jangan salahkan Pemerintah jika dianggap tidak bisa menghalangi rindu masyarakat untuk melihat kampung halaman, karena negara ini berdiri dengan berbagai latar belakang kampung halaman. Dan jangan salahkan mereka yang tetap lalu lalang, selama masih menerapkan protokol kesehatan.

Seperti masyarakat dusun di Gunung Kidul yang bisa beradaptasi karena sulit menangkap sinyal, begitu juga baiknya kita. Saat pandemi ini, kita juga harus bisa beradaptasi dengan segala protap yang menjamin keselamatan kita.

Kta harus bisa beradaptasi dengan kondisi New Normal. Untuk itu agile - mindset harus kita perlukan. Ketangkasan respon tidak harus selalu diartikan dengan ketegasan formalitas. Agile mindset bukan hanya bagi aparat pada level pembuat kebijakan tetapi juga termasuk untuk yang di lapangan. Budaya agile-mindset juga harus tumbuh di masyarakat (kepekaan sosial).

Aparat di jalan jangan hanya melarang, tetapi memastikan protap keselamatan. Bukan kebringasan yang diviralkan namun ramah senyum mengajak kebaikan dan mencontohkan.

Maka siapa yang bisa menghalangi Rindu, mungkin dia tidak pernah merasakan rindu. Apalagi di saat Pandemi Rindu, ada rindu utuk orang tua, Rindu Tempat Ibadah, Rindu Wisata dan Rindu kondisi Normal.

Memaknai kondisi pandemi sebagai ujian untuk naik kelas mungkin akan sedikit membantu kita semua. Seperti janji Tuhan, "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan".

Saatnya new normal ^^
(Khulfi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun