Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Liku Multikulturisme dalam Semangkuk Soto Manggor Mampir

24 April 2021   23:46 Diperbarui: 26 April 2021   10:00 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soto Ayam Manggor Mampir (Dokpri)

Bapak Priska (Dokpri)
Bapak Priska (Dokpri)
Ibu Priska (Dokpri)
Ibu Priska (Dokpri)
Anaknya yang sulung sudah berumah tangga, namanya Priska dan tinggal di Jakarta. Dari sanalah ia diberi panggilan bapak Priska, dari nama anak sulungnya. Itu khas panggilan seorang bapak dalam suku Batak umumnya, maupun suku Karo.

Walaupun disebut warung soto ayam, ia juga berjualan mi ayam, bubur ayam, nasi goreng, aneka jenis mi goreng, dan juga mi pansit kuah. Warung ini terletak persis di depan gerbang Sekolah Dasar Santo Xaverius 1 Kabanjahe.

Sudah beberapa kali saya sarapan pagi di sana, sambil menunggu anak saya yang duduk di kelas 1 pulang sekolah. Sudah sekitar dua pekan ini dilakukan pembelajaran secara tatap muka secara terbatas dan dengan penerapan protokol kesehatan di sekolah itu.

Mi Tiaw Manggor Mampir (Dokpri)
Mi Tiaw Manggor Mampir (Dokpri)
Semangkuk soto ayamnya cukup murah, hanya seharga Rp13.000. Rasanya gurih dan nikmat, khas cita rasa masakan Jawa. Terasa segar rasa asamnya, dan asinnya juga cocok di lidah orang Karo.

Menurut pengakuan Ibu Priska, semua bumbu masakannya diolah sendiri, tidak ada yang bumbu yang dibeli jadi. Mulai dari bawang goreng misalnya, digoreng sendiri.

Sebab katanya, bawang goreng yang dijual di pasar tidak jarang juga terbuat dari campuran irisan kubis yang dicampur dengan tepung dan digoreng dengan minyak bawang, sehingga tampak dan terasa mirip bawang goreng. Begitu juga perkedelnya, murni dari adonan kentang asli.

Cukup ramai juga yang makan di warungnya ini. Namun, menurut pengakuan ibu Priska untungnya hanya sedikit. Ya itu tadi penyebabnya, karena semua bumbu dan bahan-bahannya original dan dibuat sendiri, sehingga cukup repot, capai, dan butuh banyak waktu untuk mempersiapkannya setiap hari.

Untuk soto ayam saja, misalnya. Mulai dari menggoreng ayam, untuk nantinya dicincang, disuwir, menggoreng bawang, merebus tauge, menyiapkan mi, mengolah rempah dan bumbu untuk kuah, menggoreng kerupuk, dan sebagainya. Itu hanya bagian-bagian yang bisa aku bayangkan, entah persisnya bagaimana aku tak tahu.

Ibu Priska mempersiapkan bahan-bahan soto ayam (Dokpri)
Ibu Priska mempersiapkan bahan-bahan soto ayam (Dokpri)
Sebelum berjualan di warung ini, dulunya mereka berjualan barang-barang kelontong di dekat Tugu Bambu Runcing, Kabanjahe. Merek tokonya Usaha Dagang Horas.

Namun, sejak erupsi gunung Sinabung, di mana masyarakat desa-desa sekitar lingkar Sinabung yang menjadi pembelinya mulai banyak yang mengungsi, maka secara berangsur hasil penjualan tokonya pun menjadi menurun drastis. Di sekitar lokasi tugu Bambu Runcing Kabanjahe ini memang adalah terminal angkutan pedesaan desa-desa sekitar lingkar Sinabung.

"Sewa ruko 50 juta per bulan, sementara itu hasil keuntungan penjualan hanya Rp50.000 per hari. Habis untuk sewa ruko, nggak tahanlah," kata pak Priska mengenangkannya. Aku menyimak penuturannya sambil memperhatikan kesibukannya memasak pesanan pembeli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun