Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangkit atau Terjepit Tak Tergantung pada yang Terlihat Melainkan Percaya

20 Mei 2020   11:58 Diperbarui: 20 Mei 2020   20:29 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: brighteon.com

Sejarah kebangkitan nasional Indonesia yang terjadi pada paruh permulaan abad ke-20, ditandai dengan tumbuhnya kesadaran nasional sebagai bangsa. Salah satu yang paling diingat adalah lahirnya organisasi pemuda Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.

Kesadaran nasional kita sebagai bangsa juga dipandang tidak terlepas dari peran politik etis, atau politik balas budi, yang diperjuangkan oleh Dr. Edward Douwes Dekker, yang mempunyai nama pena Multatuli dan penulis dari novel Max Havelaar.

Selain cerita tentang sejarah lahirnya kebangkitan nasional ini, ada juga cerita lain yang terjadi pada paruh pertama abad ke-20 yang terekam dalam sebuah surat yang ditulis oleh Kartini kepada salah seorang sahabatnya Estelle Zeehandelaar (1900), sebagaimana dijelaskan dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.

Dikisahkan di sana, pada suatu waktu "pangreh praja", sebutan lain untuk para ambtenaar atau pegawai negeri/pejabat negara/pejabat pemerintahan pada masa Hindia Belanda, di suatu wilayah mulai mempergunakan telefon. Penguasa lokal di daerah itu memohon kepada asisten residen agar daerahnya dibebaskan dari pemakaian telefon.

Asisten residen heran dan bertanya mengapa begitu, sebab menurutnya menggunakan telefon seharusnya menyenangkan dan memudahkan urusan. Penguasa daerah itu menjawab:"Saya akui, tapi kalau saya berbicara kepada seorang asisten wedana atau ambtenaar lain melalui telefon, saya tidak bisa melihat apakah dia menyembahku atau tidak".

Itu adalah sebuah mentalitas dalam praktik yang oleh Sukarno disebut sebagai feodalisme pribumi yang sakit. Mentalitas yang menuntut dengan angkuh dan rakus datangnya sebuah penghormatan dari bawah, yang dinyatakan dalam wujud sembah.

Itu adalah sesuatu yang sangat ironis. Sebab sejarah mencatat, bahwa dengan mentalitas gila hormat ala feodalisme itulah penjajah berhasil menjajah dan mengalahkan rakyat.

Kartini juga menuliskan kepada sahabatnya, "Penjajah yang berkuasa menertawakan dan mengejek kebodohan rakyat yang terjajah. Tetapi kalau ia mencoba maju, penjajah malah bersikap menentangnya".

Namun kini, kita justru menemukan bahwa "peperangan" kita melawan sebangsa sendiri tidak kalah hebat dari perang di masa-masa awal kebangkitan nasional untuk menantang penjajah dari bangsa asing itu. Kini masih banyak anak bangsa kita yang tidak bisa menahan diri untuk tidak terlibat dalam perdebatan dan polemik hingga benar-benar yakin dan menyaksikan yang lain kalah dan tunduk menyembah.

Bukankah itu tidak jauh berbeda dengan sikap penguasa zaman Hindia Belanda yang tidak mau menggunakan telefon, karena takut tidak bisa melihat apakah ambtenaar lawan bicaranya menyembahnya atau tidak? Tidak peduli apakah ia pantas dihormati atau tidak.

Hingga kini kita masih dan mungkin akan tetap berperang dengan rasa takut. Takut tidak sehat, tidak makan, tidak pintar, tidak kaya, tidak terkenal, dan tidak ini itu yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun