Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Romantika dalam Padi yang Tumbuh Melintasi Zaman di Desa Serdang

17 Mei 2020   23:17 Diperbarui: 18 Mei 2020   09:35 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Padi mulai menguning di kawasan sawah | Dokumentasi pribadi

Dalam masa pertumbuhannya, tanaman padi kini memiliki musuh alami yang semakin berkembang. Tampaknya hal ini berhubungan dengan mobilitas manusia, sumber asal ternak dan pupuk yang datang dari wilayah lainnya.

Mobilitas ini turut membawa serta keong-keong yang suka memakan daun dan batang padi. Ikan-ikan ini dapat hidup dengan baik karena padi dipelihara dengan cara alami, sementara padi mendapat keuntungan karena ikan-ikan turut membantu memangsa keong-keong. Dari situ, petani dapat memperoleh hasil panen padi dan sekaligus ikan sebagai hasil sampingannya.

Tidak jarang juga, pada masa-masa awal musim tanam, dimana padi belum tumbuh besar, ibu-ibu yang bekerja ke sawah melakukan kegiatan yang disebut "Ndurung". 

Itu adalah aktivitas menjaring ikan-ikan kecil yang kami sebut "Kaperas", "Silau-silau" dan "Timah-timah", serta berbagai serangga air lainnya yang bisa dimakan, seperti "Cibet" dan "Singkai", dengan menggunakan jaring kecil yang disebut "Durung". 

Hasil dari "Ndurung" ini, yang tidak lain adalah ikan-ikan kecil dan serangga air yang sangat beragam, dimasak jadi satu dalam bentuk gulai ikan menggunakan rempah-rempah dan bahan khas pedesaan, yang kami namakan "Tangas-tangas". Enak sekali menyantap nasi hangat dengan lauk tangas-tangas ini.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Foto ilustrasi Dokumentasi pribadi
Foto ilustrasi Dokumentasi pribadi
Dulunya, saya mengingat bahwa musuh utama padi yang ditanam di sawah-sawah ini hanyalah burung dengan bulu putih di kepalanya. Kami warga lokal menyebut juga burung ini dengan nama "Perik Mbunga". 

Dulu saat orang masih memiliki banyak waktu untuk berburu burung ini, banyak juga orang yang menangkapi burung ini dengan jaring dan dimasak sebagai makanan olahan.

Burung-burung ini entah bagaimana tampak mengalami peningkatan populasi menjelang musim panen padi. Maka, adalah sebuah pemandangan yang lazim saat menjelang musim panen tiba, sawah tampak berwarna-warni dengan umbul-umbul dan orang-orangan yang terpasang bagai kanopi di atas hamparan sawah dan digerakkan dengan tali-temali yang terhubung ke sebuah pusat di tengah sawah.

Alat pengusir burung yang terbuat dari bambu yang dibelah dan dihubungkan dengan tali-temali ke dangau yang ada di tengah sawah itu disebut "Kap-kap". Hal ini mungkin disebabkan karena suaranya terdengar seperti "kap...kap...kap" setiap kali ditarik-tarik untuk menghalau burung.

Padi mulai menguning di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Padi mulai menguning di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Petani yang menghalau burung di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Petani yang menghalau burung di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Kami menyebut istilah kegiatan menghalau burung ini dengan nama "Mburo". Orang-orang saling bersahut-sahutan di sawah, meneriakkan yel-yel yang khas mengusir gerombolan burung pencuri padi, "Wayahe, wayahe, wayah", demikian bunyinya.

Romantika dalam kegiatan menanam padi di sawah ini didokumentasi juga oleh masyarakat tradisional kami dalam bentuk kesenian dan kebudayaan. Istilah "Wayahe, Wayah" ini sendiri bahkan dijadikan judul sebuah lagu yang diciptakan oleh alm. Djaga Depari, salah seorang Komponis nasional dari Tanah Karo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun