Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Balada Si "Abdi Parik", Pejuang Keadilan Sosial di Dunia Nyata

9 November 2019   16:05 Diperbarui: 10 November 2019   13:47 2222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Penggali Selokan | dokpri

Social Justice Warrior, yang disingkat SJW, adalah sebuah frasa dalam bahasa Inggris yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti "Pejuang Keadilan Sosial." Itu adalah sebuah istilah bermakna peyoratif bagi seseorang yang mengusung pandangan progresivisme sosial, termasuk feminisme, hak sipil, multikulturalisme, dan politik identitas.

Tuduhan bahwa seseorang adalah SJW menyiratkan bahwa mereka mencari pembenaran diri, bukan karena benar-benar yakin dengan pandangan mereka, dan pura-pura ikut berdebat.

Frase tersebut bermula pada akhir abad ke-20 sebagai istilah netral atau positif untuk orang-orang yang memperjuangkan keadilan sosial. Pada 2011, saat istilah tersebut mula-mula muncul di Twitter, maknanya berubah dari positif menjadi sangat negatif. 

Saat kontroversi Gamergate, makna negatif tersebut semakin populer dan biasanya diarahkan kepada orang-orang yang memperjuangkan liberalisme sosial, inklusivitas budaya, atau feminisme, serta pandangan-pandangan yang santun secara politis.

Menurut Martin, makna istilah ini berubah dari positif menjadi sangat negatif sekitar tahun 2011 ketika dilontarkan sebagai celaan untuk pertama kalinya di Twitter. Pada tahun itu pula, Urban Dictionary menerbitkan entri definisi untuk istilah ini. 

Penggunaan istilah ini secara negatif meluas di tengah kontroversi Gamergate tahun 2014. Pendukung Gamergate memakai istilah ini untuk menyebut lawan mereka yang berbeda ideologi.

Sejumlah peneliti memandang bahwa istilah ini bertujuan menjatuhkan motivasi orang yang dituduh sebagai SJW dan menyiratkan bahwa motif mereka adalah "mencari pembenaran diri, bukan karena benar-benar yakin dengan pandangan mereka."

Konotasi negatifnya ditujukan kepada orang-orang yang berpandangan progresivisme sosial, inklusivitas budaya, atau feminisme. Pemakaian negatif ini menyiratkan bahwa seseorang ikut dalam perdebatan atau aktivisme keadilan sosial untuk menaikkan reputasi pribadinya.

Allegra Ringo menulis di Vice bahwa "Dengan kata lain, para SJW tidak memiliki prinsip yang kuat, tetapi berpura-pura berprinsip kuat. Masalahnya, itu bukan kelompok masyarakat yang sesungguhnya. Itu hanyalah cara untuk membungkam siapapun yang mengangkat topik keadilan sosial."

Elizabeth Nolan Brown menulis di Reason bahwa pendukung keadilan sosial di sayap kiri dan kanan memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu suka mengamuk, mengaku sebagai korban, mencap lawannya jahat, dan memandang diri merekalah yang benar-benar tertindas/terzalimi.

Pada Mei 2014, konsep ini diangkat ke dalam permainan video peran parodi berjudul Social Justice Warriors. Permainan ini dikembangkan oleh Nonadecimal Creative. 

Pemain berdebat melawan trol internet yang melontarkan komentar rasis atau provokatif dengan memilih salah satu respons, misalnya "Gunakan logikamu untuk membantah klaim mereka," menyebarkan komentar mereka agar diserang orang lain, atau menyerang secara pribadi.

Pemain bisa memilih kelas karakter dan melihat perubahan tingkat kewarasan (Sanity) dan reputasinya (Reputation).

Pencipta permainan, Eric Ford, menjelaskan bahwa permainan ini dirancang untuk mendorong pemikiran kritis dan "Tidak bertujuan membiarkan komentar rasis, seksis, dan komentar buruk di internet. Tujuannya adalah mendorong pemain berpikir kritis dalam melontarkan pandangan mereka secara efektif sehingga membantu pejuang keadilan sosial di dunia nyata."

Menghubungkan perkembangan istilah SJW dengan pentingnya gerakan perubahan pola pikir yang pada masa-masa lima tahun belakangan ini di Indonesia dikenal dalam istilah revolusi mental, maka ada baiknya mengutip pidato dari Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno, pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1957, sehubungan dengan perlunya gerakan Revolusi Mental, katanya;

"Revolusi mental merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala."

Merujuk kepada definisi SJW atau pejuang keadilan sosial, yang sudah bermakna negatif dalam pemaknaan secara peyoratif terutama dalam aktivitas menyuarakan pendapat yang berbeda dan kritis terhadap berbagai hal, terutama di dunia maya, sesuai penjelasan di atas, maka menjadi pertanyaan adalah, siapakah sebenarnya pejuang keadilan sosial di dunia nyata?

Mungkin dengan pertanyaan bernada jenis pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, barang kali akan ada banyak sekali jawaban terhadap pertanyaan di atas. Namun, barangkali pula ada jenis pejuang sosial di kehidupan nyata lainnya yang selama ini eksis sekaligus kurang disadari keberadaannya di antara kita.

Membedakan sikap kritis di dunia maya dengan sikap kritis di dunia maya, barangkali kita perlu juga melihatnya dari sudut pandang yang terkait dengan motif seseorang menjadi kritis.

Bila mana di dunia maya, seorang pejuang keadilan sosial, mencari pembenaran diri, bukan karena benar-benar yakin dengan pandangan mereka, tapi sekadar pura-pura ikut berdebat, maka mereka yang berjuang demi kesejahteraan sosial di saat mereka sendiri mungkin belum merasakan keadilan sosial sepenuhnya berlaku atas hidupnya, dapat dilihat bukti nyata atas tindakannya dalam kesehariannya.

Saya lebih senang menyebut mereka sebagai Abdi Parik. Parik dalam bahasa Karo berarti parit, drainase, atau saluran pembungan limbah dalam bahasa Indonesia. Para Abdi Parik adalah mereka yang berjuang menghadirkan kesejahteraan sosial dengan pekerjaan sehari-harinya menggali sedimen untuk membersihkan saluran drainase agar tidak tersumbat.

Mungkin mereka, para Abdi Parik, yang bekerja di dalam saluran-saluran drainase adalah jenis pekerja yang walaupun bekerja di pinggir-pinggir jalan dengan lalu lintas padat kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang adalah jenis orang-orang yang walaupun eksis tapi kurang disadari keberadaannya ada di antara kita, selain karena memang tidak terlihat saat mereka bekerja dengan membungkuk-bungku di dalam gorong-gorong yang tersembunyi. 

Mereka tidak membenarkan diri, jauh dari perdebatan sia-sia, meskipun mereka barangkali bekerja bukan karena benar-benar yakin dengan pandangan mereka, tapi sekadar mencari sesuap nasi untuk anak-anak dan keluarganya.

Penggali Selokan (dokpri)
Penggali Selokan (dokpri)
Seperti realisme sosial yang selalu tampil menyajikan kenyataan di masyarakat apa adanya, tanpa prasangka, dan tanpa usaha untuk memperindahnya, mencermati pekerjaan Abdi Parik bisa menjadi sarana untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. 

Kritik dan pesan atas ironi yang terjadi dari kenyataan adanya orang-orang yang mencari sesuap nasi, dari membereskan kesalahan baik sengaja atau tidak dari orang-orang lainnya yang mengotori lingkungan dengan membuang berbagai jenis sampah secara sembarangan ke saluran-saluran pembuangan limbah, seolah dengan label saluran pembuangan limbah, maka itu menjadi tempat yang legal untuk segala jenis limbah.

Abdi Parik adalah sejenis golongan para pejuang yang senantiasa berlomba cepat dengan hujan yang turun dengan lebat pada musimnya, dan orang-orang yang tetap bersemangat membuangi sampah ke selokan di depan rumahnya. 

Ketika awan hitam bergelayut di angkasa, Abdi Parik mungkin berharap agar ia bisa bekerja cepat, dan bersyukur kalau para penghuni rumah yang di hulu tidak membuang sampah ke selokan di depan rumahnya, sengaja atau tidak disengaja.

Penggali Selokan (dokpri)
Penggali Selokan (dokpri)
Selokan tersumbat sampah-sampah plastik yang dibuang sembarangan sebelum dibersihkan (dokpri)
Selokan tersumbat sampah-sampah plastik yang dibuang sembarangan sebelum dibersihkan (dokpri)
Di saat pemerintah sudah jelas kelihatan belum mampu mengelola sampah kita dengan baik pun, dan di saat petugas kebersihan kurang tanggung jawab dan motivasi kerja pun, tidak lantas membuat masyarakat malah ikut menambah penderitaannya sendiri, hanya karena kurang peduli. Mulai dari hal kecil, dari depan rumah sendiri.

Misalnya, dengan menjaga anjing dan hewan-hewan peliharaannya, karena 'mereka ini' akan ikut mengais rezeki di tong-tong sampah rumah-rumah tangga. Para pengepul rongsokan dan barang bekas, agar mengembalikan sampah yang tidak berguna dan tidak laku dijual lagi ke dalam tempatnya setelah menemukan apa yang ia cari di sana.

Kalau tidak ada tempat sampah yang tersedia, tidak lantas membuat kita seenaknya membuang sampah di mana saja, simpan sampah di rumah dan keluarkan saat petugas datang. Kalau tempat tinggal kita jarang dilayani, tidak lantas kita seenaknya membuang sampah di mana kita suka, sebisanya bawa ke tempat yang dilayani tukang sampah. 

Kalau alasan ada yang mengutip uang sampah padahal sampah tak diangkat, sederhana saja, jangan bayar kalau tak dilayani. Saling menyalahkan, maka persoalan kecilpun sulit diatasi. Saling membantu, maka persoalan berat pun bisa diatasi.

Lalu bila kita hanya mengkritik seperti makna peyoratif SJW, "Enak sekali, di mana negara?" Kenyataannya kita masih ada di negara ini, dan mereka yang kita kritik itu ternyata masih tetap seperti itu, buat apa menambah sengsara kalau bisa dikurangi dengan hanya menambah sedikit rasa peduli?.

Sebungkus kantongan plastik kresek berisi pampers bayi yang dibuang seenaknya ke dalam selokan di depan rumah sendiri, bisa memicu banjir bandang setelah berakumulasi nun jauh di suatu titik di sana.

Masalah besar sering kali muncul akibat ketidakpedulian terhadap hal-hal yang kecil. Sekecil apapun kontribusi positif yang kita bisa berikan, maka berikanlah itu, tidak usah diperdebatkan kalau sudah tahu itu dibutuhkan.

Mengharap lingkungan berubah, tidak akan menundamu bekerja menggali selokan, Abdi Parik.

Referensi: wikipedia.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun