Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika Manusia Menyakiti Bumi Menuliskan Sepucuk Surat Kepada Matahari

26 Juni 2019   18:27 Diperbarui: 28 Juni 2019   14:29 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panel surya dipasang di atap rumah untuk menangkap sinar Matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik (sumber: https://upload.wikimedia.org)

Badai Matahari yang pertama kali tercatat dalam pustaka astronomi adalah pada tanggal 1 September 1859. Dua peneliti, Richard C. Carrington dan Richard Hodgson yang sedang mengobservasi bintik Matahari melalui teleskop di tempat terpisah, mengamati badai Matahari yang terlihat sebagai cahaya putih besar di sekeliling Matahari. Kejadian ini disebut Carrington Event dan menyebabkan lumpuhnya jaringan telegraf transatlantik antara Amerika dan Eropa.

Di sisi lain, manusia sebagai anak-anak yang mendiami ibu bumi, juga tidak henti-hentinya menyebabkan penderitaan bagi ibunya. Bagi anak-anak, manusia-manusia itu, itu mungkin hanyalah sebuah pelampiasan pelampiasan rasa frustasi. Sadar atau tidak, sebenarnya itu sangat menyakiti ibu, menyakiti bumi. Betapa menderitanya bumi di tangan manusia karena matahari, atau menderita di tangan matahari karena ulah manusia.

Sebut saja salah satu yang sangat menyakiti bumi melalui apa yang terlihat dalam pemakaian plastik yang sangat massif dan hampir-hampir tidak terkendali di berbagai belahan bumi, atau penebangan hutan yang menghabisi berhektar-hektar pohon di hutan setiap harinya.

Dalam sebuah publikasi yang dirilis oleh Global Forest Watch pada portalnya di tanggal 25 April 2019 yang lalu, dijelaskan bahwa daerah tropis kehilangan 12 juta hektar tutupan pohon pada tahun 2018. 

Ini merupakan kehilangan tahunan tertinggi keempat sejak dimulainya pencatatan pada tahun 2001. Yang paling memprihatinkan adalah hilangnya 3,6 juta juta hektar hutan hujan primer seluas negara Belgia.

Dijelaskan juga bahwa pada tahun 2002, 71 persen dari total tingkat kehilangan hutan primer terjadi di dua negara saja, yakni Brasil dan Indonesia. Namun, data terbaru menunjukkan adanya pergeseran, di mana Brasil dan Indonesia hanya menyumbang 46 persen dari total kehilangan hutan hujan primer pada tahun 2018, sementara negara-negara seperti Kolombia, Pantai Gading, Ghana dan Republik Demokratik Kongo mengalami kenaikan angka kehilangan hutan yang signifikan. (Baca)


Seperti kata Kafka, tentu saja semua ini tak akan tertahankan bagi ibu, bagi bumi, jika saja cintanya kepada manusia, dan kebahagiaan yang ada dalam cinta itu, tidak memberinya kekuatan untuk menanggung semua derita itu. 

Mungkin karena itulah bumi yang menjadi ibu, dan manusia tinggal di atasnya, bukan di atas matahari yang tidak akan sanggup menanggung derita sebagaimana halnya ditanggung oleh bumi.

Bagi seorang anak yang suka membangkang, meskipun bukan dalam kadar kualitas seperti pembangkangan Kafka kepada ayahnya yang ortodoks, sekaligus melampiaskan rasa frustasinya kepada ibu yang sesungguhnya menanggung derita dua kali lipat, barangkali manusia tidak kurang tidak lebih sebagaimana Kafka kepada ayahnya, akan menuliskan perasaannya dalam sebuah surat kepada matahari: "Kali terakhir ketika aku sakit dan kau terbit diam-diam mendatangiku dari ufuk timur, berdiri di ambang pintu, hanya melongok untuk melihatku yang terbaring di ranjang, dengan gerakan sambil lalu kau melambai kepadaku. Pada waktu-waktu seperti itu aku berbaring dan menangis bahagia, dan sekarang pun aku menangis lagi saat menuliskannya."

Sebagaimana juga Kafka mengungkapkan perasaannya bersama adik-adiknya dalam hubungannya dengan ayah ibunya, barangkali manusia juga dalam segala pemberontakan yang tumbuh dalam dirinya, saat ini sedang mensiasati segala suka duka yang dialaminya dalam hidupnya dengan lelucon-lelucon segar, atau dengan olok-olok getir. 

Tetapi lelucon itu, dalam beberapa hal, sama sekali bukan lelucon. Kenapa? Karena manusia-manusia yang sering kali dengan terbahak-bahak menertawakan lelucon dan olok-olok itu, bisa saja merasa sedang berjuang, dan baru menyadari ironi dan paradoks dalam hidupnya justru di penghujung usianya, dalam kedewasaan, tetapi dengan kemampuan seorang bocah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun