Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pak Ari dalam Untaian Mata Rantai Daur Ulang Materialisme Ekologis

18 Juni 2019   01:38 Diperbarui: 19 Juni 2019   15:37 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Ari dan Barang-Barang Bekas (dokpri)

Dalam tetralogi novel roman sejarah Bumi Manusia, karya Pramoedya A. Toer, diceritakan kisah tentang Raden Mas Minke atau R.M. Tirto Adhi Suryo, yang merupakan pendiri surat kabar harian nasional pertama Medan Priyayi, salah satu penggagas pendirian Sarekat Dagang Islam, juara 1 dari ketiga HBS di Jawa pada zamannya.

Namun, ia yang juga seorang eks siswa sekolah kedokteran STOVIA, akhirnya meninggal akibat penyakit disentri dalam kemiskinannya, tidak lama setelah ia kembali dari pembuangannya di Maluku.

Disamping Minke, diceritakan juga tentang Annelies, istri pertama Minke, yang meninggal dalam deraan penyakit dan siksaan perasaan, karena dipisahkan dari Minke suaminya yang ada di Hindia Belanda, sementara ia "dibuang" ke Belanda. Juga diceritakan tentang Ang San Mei, istri kedua Minke, yang juga seorang aktivis dan mati dalam penyakitnya dipelukan Minke.

Begitu juga, diceritakan tentang kehidupan Nyai Ontosoroh, ibunda Annelies yang juga berarti bahwa ia adalah ibu mertuanya Minke. Nyai ini adalah seorang gundik orang Belanda, Tuan Mellema namanya. Ia dipaksa menjadi gundik saat umurnya masih sangat belia.

Namun, ia berhasil menjadi manajer, pengusaha, karena keuletan dan keteguhan hatinya, meskipun awalnya dipicu oleh rasa dendam. Dendam kepada diskriminasi, penindasan, kesewenang-wenangan dan penjajahan kepada si bodoh dan si miskin.

Orang-orang yang ada dalam roman sejarah itu berjuang untuk kebebasan. Perjuangan untuk kebebasan dari ketertindasannya masing-masing. Selain mereka itu, mungkin masih lebih banyak orang-orang yang tidak tercatat dalam sejarah, tidak pernah disebutkan namanya, tapi mereka juga sebenarnya tidak kurang berjuang dalam hidupnya yang penuh dengan kesulitan.

Dalam kehidupan, mereka mungkin tidak pernah disadari keberadaannya, hingga terlihat seperti tidak pernah memenangkan perjuangannya sendiri sampai matinya.

Setidaknya, seorang lelaki, seorang suami, dan seorang bapak, seharusnya pastilah ia berjuang untuk anak-istri dan keluarganya. Saya meminta izinnya untuk mengambil foto dan menuliskan sebuah kisah singkat tentang dirinya, di sela-sela kesibukannya mengemasi barang-barang bekas pada suatu sore di teras rumah.

Mungkin cerita ini tidak berbicara atas nama kebenaran, keadilan dan kejujuran, tapi sungguh perjuangan orang-orang seperti pak Ari membuat kita bisa belajar arti bersyukur dan berterima kasih, untuk orang-orang yang memberi energi positif dan inspirasi dari kisah kehidupannya yang tidak mudah.

Bapak ini mengaku bahwa ia sudah dapat menjalani hidupnya tanpa beban. Saya tanya, "Kenapa?" Katanya, ia tidak memiliki tanggungan lagi dalam hidupnya. Anaknya satu-satunya, bernama Ari telah menikah. "Pernikahan dini, Pak. Bapak tahu kan, biasalah anak muda sekarang ini, pergaulan bebas," katanya dengan tersenyum. 

Saya tidak tahu, apakah pernikahan dini karena pergaulan bebas yang dimaksud pak Ari adalah dalam artian yang sebenarnya, yang mana dalam pemahaman umum bermakna sesuatu yang kurang baik menurut sebuah standar moral. Atau barangkali, dengan pemahamannya yang sederhana, maksud pak Ari hanya sebatas bahwa anaknya yang masih muda telah menikah dalam kesederhanaan pikirannya yang bebas, dan tidak muluk-muluk dalam merencanakan masa depannya.

Saya tidak terlalu jauh soal itu, karena melihatnya sibuk mengemasi barang-barang bekas dari besi-besi dan kawat beton itu saja sudah membuat saya khawatir kalau-kalau jari-jarinya akan tersayat oleh benda-benda yang kurang ramah kesehatan itu. Kalau jarinya tersayat, bebannya pada hari itu bisa bertambah berat.

Anak satu-satunya yang bernama Ari, membuat si bapak ini dipanggil Pak Ari. Itu adalah sebuah cara penamaan atau panggilan umum di kampung ini. Seorang pria yang menikah dipanggil dengan nama panggilan singkat anaknya yang tertua.

Pak Ari telah tinggal di Kabanjahe sejak tahun 1987. Ia berasal dari Stabat, ibu kota Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Orang tuanya masih tinggal di sana.

Istri pak Ari tinggal di rumah, mengurus semua urusan pekerjaan rumah. Alamatnya di Gang Madu Kabanjahe. Ini adalah sebuah lingkungan pemukiman yang banyak dihuni oleh penduduk dari etnis suku Jawa, baik yang bermigrasi ke sini maupun yang memang sudah lahir dan besar di sini. Dari anak satu-satunya yang bernama Ari, ia sudah mendapatkan seorang cucu. Anak dan cucunya sekeluarga tinggal di kota Stabat.

Untuk menafkahi keluarganya, Pak Ari bekerja sebagai pengumpul barang-barang bekas. Di sini barang-barang bekas lebih dikenal dengan istilah "botot." Barangkali, itu adalah sebuah istilah yang telah mengalami mutasi kontekstual dalam lingkup lokal dari kata baku "butut." Ia sudah menekuni pekerjaan ini lebih dari 10 tahun. Sebelumnya ia bekerja sebagai seorang pekerja kuli bangunan. Tukang, adalah istilah lebih halusnya.

Sebagai pengumpul barang bekas, pak Ari sehari-harinya bisa mendapatkan uang masuk dari kisaran 100.000 hingga 200.000 rupiah perhari. Bahkan sesekali, katanya, bila ada pengusaha atau pedagang yang sedang "cuci gudang" dan membuang barang-barang bekasnya, ia bisa mendapatkan hingga satu juta rupiah dalam sehari. Istilah pak Ari, "Itu kalau sedang ada lelang."

Kalau beberapa tahun yang lalu, saat anaknya belum menikah, ia bisa mengumpulkan barang-barang bekas hingga keliling ke kampung-kampung yang jauh dari Kabanjahe. "Kadang aku sampai ke Tiganderket, atau ke Kutarayat," kata pak Ari.

Itu adalah desa-desa yang ada di sekitar Gunung Sinabung, yang sampai sekarang sering mengalami erupsi. Hingga tiga desa di sekitar kaki gunung, yakni Desa Bekerah, Desa Simacem dan Sukameriah telah direlokasi permanen dari situ. Desa-desa yang dia sebutkan kira-kira bisa berjarak 16 hingga 20 kilo meter dari Kabanjahe.

"Tapi sekarang aku hanya mengumpuli barang-barang bekas di sekitar Kabanjahe bang, aku sudah santai, tidak ada lagi tanggunganku," katanya.

Sebagai pengumpul barang bekas, pak Ari akan menjual barang-barang "botot" yang dia kumpulkan ke "depot botot." Itu adalah semacam pengepul yang lebih besar, barangkali cocok disebut sebagai agen.

Pak Ari menjelaskan, sebagai pengepul di rantai terbawah bisnis botot ini, mengacu pada harga pasar, maka untuk barang bekas dari bahan besi atau baja ringan dihargai 1.500 per kilo, sedangkan kawat-kawat beton seharga 1.000 per kilo.

"Kalau seng yang berbentuk plat malah tidak laku sekarang," katanya.

"Kalau seng yang berlekuk-lekuk itu masih laku, Bang," tambahnya. Barangkali maksudnya adalah seng model multi roof yang umum dipakai orang membangun rumah saat ini. Barangkali bisnis barang bekas mengikuti trend selera zaman juga. Apa yang sudah ditinggalkan oleh zaman sama artinya dengan tidak akan menghasilkan pendapatan di pasaran, mungkin begitulah kira-kira maksud pak Ari.

Pak Ari menimbang barang-barang bekas yang sudah selesai dikemasnya ke dalam goni besar dengan timbangan gantung. "Tiga puluh dua kilo semua, Bang," katanya.

"Ini semua, uangnya cuma 65.000 rupiah," katanya lagi.
"Oke, Pak," kataku.

Aku cukup terkesan dengan cara dia mengemas, menimbang dan mengkalikan harga barang-barang yang sebenarnya sudah cukup terlantar itu. Tidak heran, karena pak Ari ini adalah seorang lulusan Diploma 1 Akuntansi dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Begitulah menurut pengakuannya. Jadi, hal-hal yang menyangkut pencatatan, pembukuan, neraca, pastilah sudah biasa buatnya.

Ari anaknya, memang hanya sampai tamat sekolah menengah kejuruan. "Dia yang tidak mau melanjutkan, Bang. Aku sebenarnya mau berusaha dan berjuang. Dia mau langsung kerja saja," kata pak Ari menjelaskan mengenai pilihan karir anaknya.

"Jadi, mau dibuat apa ini semua, Pak?" tanyaku.

"Oh, nanti kertas-kertas ini dilebur menjadi bubur kertas, yang plastik dilebur menjadi biji plastik, termasuk bahan-bahan ini juga akan diolah menjadi serbuk-serbuk yang menjadi bahan softboard dan partikel board, yang kalau sudah jadi akan dijual menjadi perabot-perabot yang cantik itu Bang," jawabnya.

"Oya, di mana itu diproses, Pak?" tanyaku.
"Di Belawan, Bang," jawabnya.

Begitulah dalam struktur hirarki kehidupan, termasuk dalam hirarki ekonomi. Siapa yang di atas mungkin akan selalu menikmati manfaat ekonomi terbesar. Tapi apakah yang di atas akan menjadi yang paling santai dalam hidup? Belum tentu.

Setidaknya saya menemukannya dalam sosok pak Ari. Entah karena ia telah kebal terhadap kerasnya hidup, sehingga merespons ironi kehidupan dengan begitu ringannya, atau ia tidak sadar bahwa sebenarnya ia telah berhasil mensyukuri kehidupan sebagai sebuah kenyataan yang terus mengalir dan karenanya harus dinikmati. Mungkin baginya cukup untuk menjalani saja, apa yang menanti di depan adalah sebuah misteri ilahi bagi semua orang.

Orang-orang seperti pak Ari adalah sosok-sosok yang kurang dikenal atau bahkan kurang disadari. Bagi sebagian besar kita, mereka ini kadang ada kadang tidak, karena menghargai barang-barang bekas bukanlah sebuah budaya hidup yang bisa dibilang sudah kita nikmati.

Kalau tidak demikian, maka seharusnya tidak banyak lagi sampah-sampah yang terbuang sembarangan. Bukan lagi hanya sebatas soal ekonomi, di budaya hidup seperti ini soal etika ekologi seharusnya sudah penting menjadi sebuah kesadaran guna memberi arah bagi hidup yang akan kita nikmati sehari-hari.

Ungkapan bijak yang mengatakan, "Singkirkan barang-barang yang tidak diperlukan, jika kamu ingin melangkah dengan ringan," kita maknai terlalu sederhana, sehingga kita menjadi begitu mudahnya mencap berbagai hal sebagai sampah. Bumi tidak akan cukup guna menampung material yang begitu mudah kita singkirkan dengan cara berpikir kita yang terlalu ekonomis.

Demikianlah sedikit kisah dari pak Ari. Ia adalah bagian dalam untaian mata rantai daur ulang barang-barang bekas. Kisah hidup dan pekerjaan sehari-harinya menggambarkan kenyataan dialektika materialisme dan etika ekologi yang berkelindan dalam kehidupan modern, dan mungkin telah dan masih sedang bermutasi, sadar atau tidak disadarinya.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun