Dalam Buku Profil Yayasan Kesejahteraan Penyandang Cacat (YKPC- sekarang disesuaikan namanya menjadi Yayasan Kesejahteraan Penyandang Disabilitas/YKPD) Alpha Omega, berjudul Alpha Omega DULU, KINI dan ESOK, yang diterbitkan menyambut usia yayasan sosial ini yang ke-20 tahun pada tahun 2008 yang lalu, ditampilkan sejarah, kondisi sekarang dan bagaimana Alpha Omega kedepan yang tetap setia pada panggilannya dalam melayani saudara-saudari yang berkebutuhan khusus.
YKPD Alpha Omega adalah salah satu wadah pelayanan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang bersaksi di tengah dunia dan masyarakat untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak penyandang disabilitas yang kurang dipedulikan, bahkan tidak mendapat perhatian, baik di dalam keluarga apalagi ditengah masyarakat pada umumnya.Â
Narasumber penulisan buku profil ini merupakan para pendahulu gereja yang telah ikut menggumuli berdirinya Alpha Omega dan semua pengurus yayasan dari setiap periode beserta staf yayasan yang telah banyak memberikan data dan informasi dalam sebuah diskusi panel terkait Alpha Omega pada tahun 2006 yang lalu, antara lain: Pdt. DR. A. Ginting Suka, Pdt. Jadiaman Perangin-angin dan Pt. Em. Teken Barus.
Sejarah Berdirinya Alpha Omega
Latar belakang berdirinya Alpha Omega dimulai dari pergumulan almarhum Pdt. Salomo Sitepu, STh, dimana anak kedua dari pendeta ini, bernama Ruth Br Sitepu merupakan seorang yang berkebutuhan khusus terkait gangguan mental.Â
Pendeta Sitepu terpilih menjadi sekretaris bidang II pembangunan dan pengembangan GBKP Periode 1984-1989. Jabatan ini mengharuskan dia tinggal di Kabanjahe. Setelah tinggal menetap di Kabanjahe, pergumulan pendeta dan keluarga sangat terasa dalam pengasuhan dan pendidikan Ruth Br Sitepu. Pergumulan ini sering dibicarakannya kepada rekan-rekannya sesama pendeta.
Jalan keluar yang ditawarkan teman-teman pendeta Sitepu yakni supaya Ruth Br Sitepu dibawa ke Panti Karya Hepata di Laguboti. Panti Karya Hepata adalah tempat pelayanan dan pendidikan bagi orang-orang berkebutuhan khusus yang dikelola oleh diakonia Charitas HKBP. Setelah Ruth Br Sitepu dibawa ke Panti Karya Hepata, ternyata di panti tersebut ada beberapa orang yang dirawat di sana juga berasal dari Kabupaten Karo. Menyadari hal tersebut muncul sebuah pertanyaan mengapa GBKP tidak membuka pelayanan serupa di Kabupaten Karo?
Menggumuli kebutuhan akan adanya sebuah yayasan yang bergerak dalam pelayanan orang-orang berkebutuhan khusus di antara berbagai program pelayanan prioritas lainnya di GBKP, Pdt. DR. A. Ginting Suka yang ketika itu menjadi Ketua Umum Moderamen GBKP, mengingatkan pesan Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia pada tahun 1983 di Vancouver Canada.Â
Sidang raya ini membicarakan secara mendalam tentang korban-korban kemanusiaan dari berbagai kejadian di tengah-tengah dunia, antara lain korban tes nuklir di kepulauan Pasifik, anak korban kurang gizi sejak masa kandungan hingga pemeliharaan yang buruk pada masa balita yang menyebabkan banyak anak mengalami cacat tubuh dan mental, dan sebagainya.Â
Sidang akhirnya memutuskan: "Kepada setiap insan manusia diberikan pelayanan yang baik, oleh karena setiap insan walau bagaimana pun keadaan tubuh dan jiwanya, mereka adalah anak-anak Tuhan yang diciptakan menurut citra Allah. Mereka berhak mendapatkan pemeliharaan dalam dunia ini." Dewan gereja sedunia menganjurkan agar gereja-gereja melayani penanganan masalah-masalah kemanusiaan.
Gagasan dan pergumulan mendirikan yayasan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas ini kemudian dibicarakan dengan Dewan Pekabaran Injil NHK Belanda yang pada waktu itu diketuai oleh Pastor Yacob Slobb. Gagasan ini mendapat sambutan baik dari NHK Belanda, yang  bersedia mencari dana bagi pembangunan panti perawatan dan pendidikan.
Setelah mendapat dukungan dana bagi pembangunannya, GBKP melalui Parpem (singkatan Partisipasi Pembangunan, sebuah departemen di GBKP yang bergerak dalam bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat) membangun gedung panti perawatan dan pendidikan bagi penyandang disabilitas itu secara swakelola. Parpem GBKP pada masa itu diawaki oleh almarhum Pdt. Borong Tarigan, STh dan almarhum Pdt. Selamat Barus, STh.
Sementara itu, Pdt. Salomo Sitepu, STh  bertugas menjajaki anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di Kabupaten Karo. Dari hasil pendataan tersebut, sebagian besar penyandang disabilitas yang dilaporkan adalah cacat mental dan bisu tuli.Â
Akhirnya, setelah melihat hasil pendataan tersebut, GBKP memutuskan membuka pelayanan untuk orang-orang cacat mental dan bisu tuli. Keputusan ini diwujudkan dalam pendirian sebuah yayasan bernama Alpha Omega dengan akte notaris, dimana sebagai pendiri adalah Pdt. DR. A. Ginting Suka, Pdt. E. P. Gintings, STh, dan Pdt. Salomo Sitepu, STh, pada tanggal 21 Juli 1988.
Setalah yayasan berdiri, ada dua kesulitan yang dihadapi, yakni pengadaan guru dan biaya operasional. Untuk mengatasi masalah ini, Pdt. Salomo Sitepu diberikan tugas mencari guru-guru untuk sekolah luar biasa dan Pdt. DR. A. Ginting Suka mencari dukungan dana dari gereja-gereja Jerman dan Belanda.
Gereja Swiffterbant Belanda memberikan respons yang positif dan segera melakukan pengumpulan dana. Begitu juga gereja Jerman yang tergabung dalam United Evanglical Mission dimintakan agar membantu mencari tenaga guru bagi penyandang disabilitas untuk bekerja di yayasan ini. Adalah Almuth Grothaus, anak dari Pdt. Warner Grothaus (yang juga pernah melayani di GBKP) baru menamatkan pendidikan dalam bidang pendidikan anak cacat, sangat mendukung dan menyetujui rencana ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, yayasan ini secara terus menerus mencari dukungan dari pemerintah dan masyarakat secara umum. Tamu-tamu GBKP sering dibawa berkunjung ke Alpha Omega untuk melihat kiprah pelayanannya, juga kebutuhan dan rencana pelayanannya kedepan. Kepada jemaat juga dilakukan sosialisasi secara reguler agar lebih mengenali pelayanan Alpha Omega, berikut kebutuhan dan tantangan dalam pengelolaannya.
Pola pelayanan yayasan ini dilakukan pertama-tama dengan mengikutsertakan semua orang tua/ keluarga yang anak atau anggota keluarganya ikut dilayani di Alpha Omega sebagai keluarga besar yayasan. Kedua, pelayanan terhadap penyandang cacat tidak hanya terbatas di dalam panti asuhan dan gedung pendidikan, tetapi juga menjemput bola dengan mencari anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di desa-desa, yang cenderung diabaikan, bahkan "disembunyikan," agar lebih mendapat perhatian dan kasih sayang.
Alpha Omega Kini
Hari ini, saat mengunjungi salah seorang sanak saudara yang bekerja di dapur asrama Alpha Omega di Juma Lingga, saya mendapatkan informasi bahwa saat ini anak berkebutuhan khusus yang sedang dirawat di Alpha Omega Juma Lingga ada sebanyak 78 jiwa. Pengasuh dan yang mengurus kebutuhan mereka ada sebanyak 28 orang. Mereka bertugas dengan sistem shift, sudah termasuk yang memasak di dapur 1 orang, dan yang mengurus peternakan 1 orang. Pengasuh yang tinggal di lingkungan asrama ada 5 orang, sedangkan sisanya pulang pergi dari asrama ke rumah mereka masing-masing di desa yang ada di sekitar lingkungan asrama.
Dari Saudara yang bertugas di dapur, saya diberitahu bahwa untuk sekali makan bagi seluruh penghuni asrama itu, mereka membutuhkan 13 kg beras untuk sekali masak. Saya tidak menanyakan berbagai kebutuhan lainnya karena saat itu sudah menjelang jam makan siang.
Berbagai program, sarana dan prasarana dalam pelayanan di Alpha Omega antara lain, panti asuhan (asrama), Sekolah Luar Biasa, klinik kesehatan dan fisiotherapy, program pendidikan vokasi (workshop, pelatihan pertanian dan peternakan), dan sebagainya.
Berikut ini hanya sebuah perenungan yang saya refleksikan dari hanya beberapa menit berada di antara anak-anak Alpha Omega. Bukan sebuah pernyataan visi resmi kelembagaan, dimana saya hanya berada di sana sebagai seorang pengunjung, itupun bukan untuk sebuah tujuan khusus bagi Alpha Omega.
Merenungkan kisah dalam novel Norwegian Wood karangan Haruki Murakami, dimana Toru Watanabe terkenang akan Naoko, gadis cinta pertamanya, yang kebetulan juga adalah kekasih mendiang sahabat karibnya, Kizuki.
Pada suatu waktu, Naoko yang menderita depresi karena kehilangan kakaknya dan Kizuki kekasihnya yang sama-sama mati muda, akhirnya dimasukkan ke sebuah asrama semacam panti rehabilitasi bagi orang-orang dengan gangguan mental, bernama "Asrama Ami." Dalam bahasa Prancis "ami" berarti teman.
Di tengah obrolan mereka, datang bergabung di meja mereka seorang lelaki berpakaian putih. Ia banyak bicara tentang produksi cairan lambung dalam kondisi tanpa gravitasi, dan terus membicarakan mengenai hubungan timbal balik antara besar otak dan kemampuannya. Ia mendongengkan tentang kapasitas otak Bismarck dan Napoleon. Di saku bajunya ada tiga pulpen, pensil dan mistar.
Melihat penampilan dan tingkahnya, di antara orang-orang yang ada di dalam asrama, baik dokter, perawat maupun pasien, Watanabe tidak bisa menduga secara pasti apakah laki-laki berpakaian putih itu adalah seorang dokter atau pasien.
"Menurutmu yang mana?" kata Reiko-san.
"Aku tidak bisa membedakannya sama sekali. Tetapi toh ia tidak terlihat waras," kata Watanabe.
"Ia dokter. Ia dipanggil Tomita sensei," kata Naoko.
"Tapi, di sini dia yang paling aneh. Aku berani taruhan," Reiko-san menambahkan.
"Pak Oomura, penjaga pintu gerbang pun aneh juga ya," kata Naoko.
"Ya, dia memang gila," kata Reiko-san mengangguk. "Soalnya, setiap pagi dia bersenam seenaknya sambil berteriak-teriak tak menentu. Sebelum Naoko datang ke sini, gadis di bagian keuangan bernama Kinoshita pernah mencoba bunuh diri karena neurosis, kemudian tahun lalu perawat bernama Tokushima dipecat karena kecanduan alkohol."
"Betul sekali, tampaknya kamu sudah mulai memahami sistem di dalam masyarakat ya," kata Reiko-san menjawab Watanabe.
"Kelihatannya begitu," kata Watanabe.
"Yang waras dari kami...," kata Reiko-san, "Adalah kami tahu bahwa kami tidak waras."
Begitulah refleksi dari duduk beberapa menit di Alpha Omega. Bagaimana kita mau menghadirkan pengobatan atau penyembuhan, di saat kita ternyata tidak menyadari kalau-kalau kita lah yang sakit dan kurang waras dalam dunia dengan sudut pandang yang tidak terbatas.
Reiko-san menutup harapannya kepada Watanabe yang telah diberitahu bahwa baik pasien, staf maupun tamu, selama berada di dalam asrama berarti menjadi anggota asrama, bagian dari mereka semua. Kata Reiko-san, " Pertama-tama Anda harus punya keinginan menolong seseorang. Kemudian Anda pun harus berpikir bahwa Anda sendiri harus ditolong seseorang. Kedua, jadilah orang jujur. Jangan berbohong, jangan berpura-pura, jangan menyamarkan sesuatu yang tidak baik. Itu saja."
Reiko-san adalah seorang pasien yang sudah tujuh tahun berada di Asrama Ami. Dia sudah sembuh, tapi ingin tetap berada di sana karena ia suka membantu orang untuk sembuh. Dengan mengajar musik, menanam sayuran, dan sebagainya. Semuanya sudah menjadi teman di sini, di Alpha Omega, yang awal dan yang akhir.
Referensi:
YKPC Alpha Omega, Alpha Omega Dulu, Kini dan Esok, Kabanjahe: 2008.
Haruki Murakami, Norwegian Wood, Jakarta: KPG, 2013.