Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Suap Sukar Dihilangkan?

7 Desember 2018   02:25 Diperbarui: 7 Desember 2018   03:15 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai kritik sosial dengan mengangkat realitas di masyarakat apa adanya dalam bentuk cerpen, maka cerpen realisme sosial berjudul "SUAP" karya Putu Wijaya, yang telah dipublikasikan pada 12 September 2008, barangkali sangat aktual dalam memberikan refleksi atas kenyataan yang terjadi sampai saat ini di masyarakat kita.

Dalam cerpen tersebut diceritakan tentang seorang seniman yang merasakan dilema etis, saat seorang kaya dari daerah mencoba menyuapnya, agar kontestan dari daerahnya lolos dalam sebuah festival seni. Tuan yang akan disuap ini adalah salah seorang juri festival seni internasional yang punya reputasi sangat baik.

Dilema, karena di satu sisi kepadanya ditawarkan sejumlah uang dalam dua gepok amplop tebal sebagai "tanda kasih" agar mengabulkan permintaan penyuap, sementara di sisi lain kemiskinan membuat anaknya kurang gizi dan istri kalah gengsi dari tetangga. Reputasinya sebagai seniman sudah sangat dikenal.

Ade, anaknya yang masih kecil, tiba-tiba muncul di tengah percakapan yang berlangsung tersendat-sendat antara ayahnya dengan para penyuap. Ayahnya sukar menolak dan penyuap agresif mendesak. Ade, yang sehari-harinya mungkin sering mendengar dialog idealistis antara ayah dengan ibunya tentang prinsip-prinsip hidup, tiba-tiba merebut amplop dan membawanya lari keluar rumah. Sontak sang ayah lari mengejar, dan tetangga menertawakan ulah mereka, dikira sedang bermain kejar-kejaran di halaman. Sial bagi sang ayah karena Ade terlanjur melemparkan kedua amplop itu ke dalam sebuah kolam yang penuh tinja.

Oleh karena beratnya, mungkin karena uangnya banyak, kedua amplop itu langsung tenggelam. Ade melotot seolah marah kepada ayah yang dipandangnya telah kehilangan ketangkasan soal integritas. Ayah cebur ke kolam dan menyelam. Karena terlalu banyak tinja ia tidak mampu melihat apa-apa. Ia baru keluar dari kolam setelah dipanggil istrinya yang juga heran dan jijik sembari mengabarkan bahwa tamunya yang penyuap itu hendak pulang. Kembali ke rumah, tamunya memang sudah pulang. Ia segera mandi, diselingi istri yang marah-marah karena di kepala sang ayah ada kotoran manusia dan badannya penuh lumpur tinja.

Tiba-tiba seorang anak tetangga mengetok rumah dan menyerahkan dua amplop tebal penuh kotoran kepada istrinya. Mungkin inilah yang dicari suami saya pikir istrinya. Setelah diberitahu bahwa amplopnya sudah ketemu, sang ayah mandinya seadanya dan bergegas hendak memberi upah 50.000 rupiah kepada anak tetangga itu. Tapi istrinya malah marah dan hanya memberi 3.000 rupiah saja, mungkin karena istrinya tak tahu isinya apa. Sang ayah senang, pikirnya uangnya mungkin bisa dipakai untuk mengatasi kemiskinannya atau malah dikembalikan kepada sipenyuap supaya mereka tahu bahwa ia punya prinsip dan tak bisa disuap.

Hari berganti, festival berlangsung. Tanpa disangka kontestan dari daerah yang diusung sipenyuap menjadi juara, karena memang kemampuannya jauh di atas juara dua dan tiga. Siapapun pasti bisa menerima keputusan juri kalau dia layak juara. Sang ayah lega, pikirnya mungkin uang itu layak dia pakai karena yang menang toh layak juara juga.

Setelah sekian lama sejak festival berlalu, sementara kemiskinannya berlanjut, ia mengambil keputusan akan menggunakan uang suap itu, setelah sebelumnya memohon ampun kepada Tuhan. Diambilnya kedua amplop yang masih tetap utuh dan sering dibelainya. Maka ia pun memanggil anak dan istrinya dan menyampaikan bahwa itu adalah uang suap. Tapi tanpa itupun konstestannya memang layak menjadi juara, dan ia memutuskan untuk memakai uang itu, agar Ade bisa sehat makan makanan bergizi, bisa membangun rumah dan membeli motor seperti tetangga.

Saat itu memang tetangga sebelahnya sedang membangun rumah dan membeli motor, entah uangnya dari mana karena semua tetangga di komplek perumahan itu nyaris tak jelas kerjanya apa.

Lalu sang istri menangis, "Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita" kata istrinya.

Ia meraih tangan anaknya dan bergegas pergi ke dapur. Sambil menoleh ke belakang, anaknya mengacungkan telunjuk menunjuk ke arah kedua amplop yang tergeletak di meja. Sang ayah heran apa maksud anaknya menunjuk ke arah amplop. Setelah memperhatikan dengan seksama, ternyata sudah ada sobekan di satu sisi amplopnya. Kedua amplop itu isinya hanya kertas putih belaka, amplop yang pernah diperjuangkannya di kolam tinja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun