Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada, Siapa Lebih Bertaji?

3 Agustus 2020   11:57 Diperbarui: 4 Agustus 2020   05:52 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilihan Langsung. (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Selain itu, masyarakat mulai berhitung matematika, khusus masa jabatan kepala daerah hasil pilkada 2020 tidak sampai lima tahun, hanya sekitar 3,5 tahun sehingga orang kalkulasi biaya yang dikeluarkan. 

Hal ini menjadi bagian prinsip ekonomi mereka. Di sini butuh calon yang tangguh baik secara mental, konstituen maupun finansial, sehingga risiko terburuk kalah dalam laga pilkada pun siap dan usaha atau bisnisnya tetap tegak.

Makin sedikitnya calon yang muncul di ajang pilkada, semakin kecilnya potensi kecurangan pilkada. Atau adanya skenario pihak memunculkan calon tunggal. Dur dan Bievre (2007), pihak-pihak yang maksud adalah kelompok berkepentingan. 

Di sini bisa saja dalam koalisasi parpol, dll. Tujuannya bisa untuk melanggengkan bisnis, dinasti politik, mempertahankan dominasi pengaruh, pemburuan rente, ataupun lainnya.

Selain itu, fenomena ini juga karena ekspektasi dana tau prediksi kemenangannya kelewat tinggi, atau terlampau PD untuk menang. Ini sesuai pandangan Strom (1990) bahwa logika partai dalam pemilu selalu ditujukan untuk memperoleh kemenangan.

Jika kemudian pada gelaran pilkada atas kehendak rakyat gernyata kotak kosong memimpin suara perolehan coblosan, maka akan semakin terlihat kalau tengah terjadi krisis kepemimpinan di wilayah tersebut. Atau hal ini mengindikasikan para elit parpol belum berhasil mendengar dan memahami aspirasi warga.

Kedewasaan Demokrasi

Kader yang dimunculkan dalam pencalonan itu tidak berkualitas, sehingga keok di bawah kotak kosong. Dengan kata lain, kemenangan benda mati ini barangkali menjadi bagian perlawanan rakyat kepala elit maupun mungkin merepresentasi protes atas kebuntuan elektoralisme.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, Feri Amsari menyatakan, kemenangan kotak kosong tersebut sebagai kritik keras kepada calon bahwa seharusnya mereka lebih mendekati masyarakat sebagai pemegang suara daripada menguasai mayoritas partai.

Sebab, kata Feri, berdasarkan UU Pilkada No. 10 tahun 2016, calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. 

Artinya, bila kurang dari 50 persen dari suara yang sah, maka pemenangnya adalah kolom kosong. "Proses dan tahapan pilkada diulang sehingga calon lain bisa mendaftar. Untuk sementara dilantik Pj Penjabat kepala daerah (tirto.id, 28/6/2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun