Di negara lain, lebih-lebih di negara komunis, adalah hal biasa menistakan agama. Bahkan di negara kampiun demokrasi macam Amerika, orang bisa saja memaki-maki Tuhan. Itu soal biasa bagi mereka.
Tetapi tidak begitu di Indonesia. Kita ini negara agamis, meskipun orangnya tidak alim-alim amat. Untuk masing-masing pemeluk agama maupun antar pemeluk agama, tidak boleh saling menista. Makanya kita selalu mewanti-wanti supaya menjauhi konflik sara, karena sejarah menunjukkan akibatnya sangat buruk.
Memang, di era internet sekarang ini tak bisa dikontrol  banyaknya akun-akun anonim melakukan penistaan agama di medsos. Apa boleh buat, dampak kemajuan teknologi. Namun karena ia ada di dunia maya, masyarakat tidak banyak mengetahuinya, dengan begitu tak  terpengaruh olehnya.
Tetapi berbeda jika pelakunya adalah pejabat publik, tokoh masyarakat atau publik figur. Berita mengenainya akan menyebar luas dan menimbulkan kekisruhan. Karena itu sangat diwajibkan berbicara mngenai agama dengan hati-hati dan terukur.Â
Juga jangan melakukan kriminalisasi terhadap tokoh agama. Baik itu ulama, pendeta, biksu, atau apapun sebutan pemuka agama yang diakui di Indonesia. Kriminalisasi terhadap mereka itu akan melukai hati pengikutnya.
Habib Rizieq Syihab, misalnya. Kemarin beliau dituduh menghina Pancasila, lalu dijadikan tersangka. Tetapi sekarang ini tuduhan itu dikabarkan dicabut, karena tak cukup bukti.Â
Lalu beliau dituduh melakukan chatting yang tak patut, karena itu akan dipidanakan. Barang bukti maupun konstruksi kasusnya sangat janggal, tetapi kasusnya tetap berjalan.Â
Apapun itu, semoga kedepannya kita memiliki institusi hukum yang menjauhkan diri dari segala bentuk ketidakadilan. Hukum yang baik itulah yang menjamin datangnya keadilan. Sedangkan mendapat keadilan merupakan hajat hidup setiap manusia.